Beranda

Caping: The Ending

Tinggalkan komentar

Kembali saya menulis tentang Catatan Pinggirnya Mas GM. Saat itu saya mengoleksi buku kumpulan Catatan Pinggir atawa Caping yang kesepuluh (bisa dibaca di https://fauzansoedira.wordpress.com/2013/11/30/caping/). Baru saja saya membeli buku kumpulannya yang kelimabelas. Dan ternyata itu edisi terakhir. Karena Mas GM berhenti menulis rubrik Caping rutin secara mingguan di Majalah Tempo. Belakangan ternyata, konon, diganti menjadi rubrik Marginalia. Entah apakah rubrik itu juga ditulis oleh Mas GM atau bukan.

Mengetahui Caping sudah tutup toko, ada sedikit kehilangan. Walaupun belakangan saya tak rajin membaca esai-esainya, namun tetap mengoleksi buku-bukunya, caping sudah sangat akrab di keseharian saya. Seperti teman ngobrol yang tiba-tiba saja pamit ke negeri yang jauh setelah kami berbincang ngalor ngidul bertahun-tahun. Saya kira Mas GM akan terus menulis Caping sampai akhir hayatnya.

“46 tahun, 2027 tulisan, 1,5 juta kata, 15 jilid buku — dan rubrik “Catatan Pinggir” di majalah Tempo pun beristirahat. Saya memutuskan untuk tak akan menuliskannya lagi tiap minggu.” Demikian tulis Mas GM dalam pengantar buku Catatan Pinggir 15 yang diberi judul Kata Penutup.

Sudah 46 tahun. Usia Caping dua tahun lebih muda dari usia saya. Dan saya mulai menggemari Caping ketika usia saya sekitar 25 tahun. Artinya sudah 21 tahun lamanya saya membaca Caping walau tak lengkap. Ke-2027 esainya mungkin tidak semuanya saya baca, separuhnya pun tidak. Namun banyak dari esai-esai itu yang membentuk cara berpikir saya. Esai-esai Caping menggugah saya memahami sebuah pemaknaan yang belum selesai dan masih akan terus tergeletak untuk dimaknai.

Caping dalam formatnya yang ringkas karena memang dibatasi jumlah kata untuk sebuah rubrik, seperti fragmen-fragmen yang berkelindan dalam ruang-ruang pemikiran para pembacanya. Dan ketika fragmen-fragmen itu kini harus selesai, tentu bukan berarti proses berpikir a la Caping turut selesai. Saya yakin, siapapun pembaca dan penggemar Caping akan meneruskan fragmen-fragmen itu dalam bentuk lain, yang bukan GM, namun memiliki Roh GM.

Saya Tidak Hobi Membaca Buku

Tinggalkan komentar

Membaca buku, ya, khususnya buku, adalah semacam terapi bagi saya. Terapi atas kegelisahan, yang mungkin diada-adakan. Saya sendiri keheranan mengapa saya sangat menggandrungi buku-buku. Saya tidak hidup di sebuah keluarga yang memiliki budaya membaca buku. Bapak saya, yang meninggal saat usia saya tujuh tahun, rasanya bukan seseorang yang hobi membaca. Terbukti tidak adanya peninggalan buku-buku di rumah saya sejak saya kecil. Kalau pun ada hanya satu-dua buku berbahasa Belanda dan sebuah buku cerita alkitab dengan ejaan lama. Ibu saya, seringkali memang saya lihat dia membaca Alkitab dan buku Santapan Harian, namun sebagian besar kesehariannya habis bekerja di warung, dapur dan belakang mesin jahit. Kakak-kakak saya yang jumlahnya tujuh orang itu, sangat-sangat jarang rasanya saya mendapati mereka membaca buku, selain buku pelajaran sekolah, apalagi mengoleksinya. Ada satu kakak saya yang beberapa saat saya lihat membaca-baca novel, tapi sepertinya hanya pada saat itu saja dia terlihat membaca, mungkin itu pun karena tugas dari sekolah.

Sementara saya, sejak SD sudah rajin meminjam buku di perpustakaan sekolah terutama buku-buku Lima Sekawan, Sapta Siaga dan Trio Detektif atau menggilai komik silat dan menghabiskan uang jajan dengan menyewa buku komik silat. Semasa SMP, serial Lupus dari Lupus SMA, Lupus Kecil sampai Lupus ABG juga saya lahap. Begitu juga serial Wiro Sableng, mulai dari seri pilotnya: Empat Brewok dari Goa Sanggreng sampai seingat saya berjudul Kiamat di Pajajaran. Kemudian, berbagai tema dan “genre” mulai merasuki saya, dari fiksi sampai filsafat.

Membaca buku, setelah saya pikir-pikir, bagi saya bukan sekadar sebuah hobi. Itu adalah sebuah kebiasaan. Saya sudah terbiasa membaca buku sehingga kadang membuat saya merasa ada yang hilang ketika saya tidak membaca buku. Yah, kadangkala saya pun dilanda reading slump, absen membaca buku sampai dua-tiga bulanan, tapi ketika kegairahan membaca itu muncul lagi, saya bisa menghabiskan sebuah buku dengan hanya sekali duduk.

Berkat komunitas Goodreads, saya jadi mulai menginventarisasi buku-buku yang saya baca dan koleksi. Semacam perpustakaan pribadi virtual. Ada total sekitar 600-an lebih buku yang telah dan pernah saya koleksi, tentu saja itu belum termasuk komik-komik silat dan serial Wiro Sableng maupun buku-buku yang tidak terdaftar di goodreads. Ada sekitar 268 buku yang telah/pernah saya baca sisanya masih antrian, yang jumlahnya cukup banyak juga. Dari komunitas itu juga saya ikut-ikutan reading challenge, yang kadang-kadang tidak mencapai target, dan sesekali melampaui target.

Saya memang bukan tipe pembaca cepat yang bisa menghabiskan buku dalam waktu singkat. Saya hanya mengalokasikan minimal satu jam setiap harinya untuk membaca buku, dan khususnya buku. Saya memasang target yang tidak terlalu muluk, 2 buku sebulan. Mungkin saya sedang mengamini arahan dari buku Atomic Habits untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan kecil dalam hidup. Dan saya melakukan itu dalam bentuk membaca buku.

Aku Bermimpi Jadi Pilatus

Tinggalkan komentar

Pagi-pagi sekali, saya sudah mendapat pekerjaan yang sebenarnya bukan urusan saya. Segerombolan pemimpin Yahudi mendatangi saya dan meminta saya menghukum mati seseorang. Saya mengernyitkan dahi sejenak. Pekerjaan menghukum mati itu sebenarnya bukan hal yang patut membuat kening saya berkerut-kerut. Tapi, segerombolan Pemimpin Yahudi, mendatangi saya pagi-pagi, meminta saya menghukum mati seseorang. Pemimpin Yahudi menghukum mati? Ah, yang benar saja.
             Sambil terheran-heran, saya sempat menanggapi dengan dingin. “Kenapa tidak kalian saja yang menghukum mati dia, sesuai hukum yang kalian punya?” Jawab mereka, hukum mereka melarang menghukum mati seseorang.
            Dengan sedikit penasaran saya minta “seseorang” itu dibawa masuk. Tak lama, masuklah seorang pria berwajah kuyu (mungkin kurang tidur). Beberapa pertanyaan saya ajukan kepada orang ini. Tapi anehnya, setiap jawaban yang keluar dari mulutnya kadang membuat saya terkesiap. Dan sambil geleng-geleng kepala, saya berkata kepada pemimpin Yahudi, “saya tidak menemukan kesalahan apapun pada dirinya!”
170316155803-finding-jesus-david-gregory-pontius-pilate-stone-00002302
          Namun, para pemimpin Yahudi itu mendesak saya. Bahkan sempat menyinggung-nyinggung posisi saya dengan mengatakan, kalau saya tidak menghukum mati orang itu, saya dianggap telah berkhianat terhadap kaisar karena membiarkan seseorang menjadi “raja”. Wah, gawat ini. Kalau para petinggi Romawi sampai mendengar berita sepihak ditambah bumbu-bumbu penyedap, akan terjadi kesalahtafsiran, nih. Bisa-bisa saya benar-benar dianggap memberontak. Walau kenyataannya tidak seperti itu. Saya ini sangat loyal pada kaisar. Tapi kalau lawan-lawan politik saya memutarbalikkan fakta sedemikian rupa, bukan tidak mungkin posisi saya akan terancam. Wah, gawat ini!
          Ya, sudah, supaya mereka puas, saya panggil prajurit-prajurit saya untuk menyiksa orang itu. Masak, sih, setelah melihat orang tesebut berdarah-darah, mereka belum puas juga! Saya pun kembali ke dalam ruangan kerja saya, sementara para prajurit melaksanakan tugasnya. Ah, masih banyak paper works yang mesti saya selesaikan hari ini. Biar saja para pemimpin Yahudi itu saja yang menyaksikan penyiksaan itu.
          Sambil duduk di meja kerja saya, saya mendengar bunyi lecutan cemeti berkali-kali diselingi teriakan menyayat dari orang itu. Tapi, masa bodo amat. Toh, setelah melihat penyiksaan itu, mungkin pemimpin yahudi akan membatalkan tuntutan hukuman mati mereka. Sudahlah! Masih banyak yang perlu saya kerjakan!
          Setelah bunyi-bunyi cemeti itu tak terdengar lagi, hanya rintihan kecil serta dengusan napas yang terputus-putus yang sekali-sekali terdengar, saya pun keluar lagi. Di luar ruangan kerja saya, saya mendapati orang itu terkapar dengan tubuh berbasuh darah dan sobekan-sobekan daging bertebaran di sekujur tubuhnya. Sekilas masih terlihat tetesan-tetesan darah dari ujung cemeti yang digunakan prajurit saya. Dan… hei… ide siapa itu? Ada mahkota terbuat dari duri menancap di kepala orang itu. Ck… ck… ck… kreatif sekali prajurit saya itu…. Mungkin mereka sempat mengejeknya tadi.
          Saya pun kembali berdiri dan berbicara di depan para pemimpin yahudi dan sekumpulan orang, mungkin yahudi juga, yang menyemut di halaman kantor walikota. “Lihatlah manusia itu!” kata saya. “Saya tidak menemukan kesalahan apapun pada orang ini!”
          Di kerumunan itu malah terdengar teriakan, “Salibkan dia! Salibkan Dia!”
          Hah, salib? Waduh, nggak sembarangan hukuman itu harus ditimpakan. Hanya bandit-bandit kotor dan para pemberontak bandel yang patut mendapat hukuman itu! Apakah mereka tak tau itu? Dan, ah, masak sih orang seperti itu harus mati dengan cara seperti itu? Tapi demi mendengar teriakan para hadirin, saya pun berpikir keras! “Saya tidak mungkin menyalibkan ‘raja’mu!” Jawab saya dengan menekankan kata raja! Tapi jawab mereka, “Tidak ada raja lain bagi kami selain kaisar!”
          Waduh, terserahlah. Sambil meminta pelayan saya mengambil sebaskom air, sayapun mencuci tangan di hadapan para hadirin. “Saya tidak bertanggung jawab atas darah orang ini! Kalianlah yang menanggungnya!” Jawab saya dengan nada kesal sambil membasuh tangan saya di dalam baskom itu. Kemudian kembali ke ruangan kerja saya demi membuat sebuah surat keputusan berstempel kerajaan yang isinya menyatakan penghukuman mati atas orang itu. Tentunya dengan beberapa catatan khusus. Setelah itu, saya lemparkan surat itu di hadapan para pemimpin Yahudi itu.
          Terlintas senyum puas di bibir para pemimpin Yahudi itu, sekilas, ketika saya hendak membalikkan tubuh menuju ruangan kerja saya untuk meneruskan pekerjaan lainnya.
          Cukup lama saya terdiam di hadapan tumpukan pekerjaan di meja saya. Lalu waktu terus berjalan…. Melewati waktu makan siang, sisa risau itu tetap melekat dalam dada saya. Ah, makanan pun terasa getir, tak ada selera. Mendekati pukul tiga, mendadak saya rasakan guncangan pada tubuh saya. Wah, gempa bumi-kah ini? Langit gelap, dan guncangan itu semakin keras saya rasakan!
          “Woi, bangun, Mon! Udah jam berapa ini? Kerja gak luh! Bangun atau gua siram nih!”
          Wah, ternyata saya mimpi jadi Pilatus! Gempa itu rupanya ulah kakak saya yang mengguncang-guncangkan tubuh saya. Ah, gara-gara nonton The Passion of the Christ, sih! Untung saya gak bermimpi jadi Yudas!
=============
Saya tulis ulang di blog ini sebagai refleksi menjelang Jumat Agung. Ini tulisan sekitar tahun 2004 ketika film Passion of The Christ belum lama rilis. Saya sendiri menontonnya pertama kali dari DVD bajakan.

Misalkan Yesus di Guantanamo

Tinggalkan komentar

Nama lengkapku, Yehoshua bin Yosef. Kalian mengenalku dengan
panggilan Yesus. Hanya sedikit perbedaan lafal. Tak apa. Tak soal. Ayahku, Yosef atau Yusuf, memang tukang kayu. Tak terlalu terkenal. Biasa-biasa saja. Kadang aku membantunya. Tapi belakangan aku lebih dikenal sebagai seorang guru, tepatnya guru agama. Aku terkadang mengajarkan akhlak, bukan ilmu falak ataupun ilmu eksak. Tak ada yang salah sebenarnya dengan pekerjaanku. Tapi suatu ketika aku kena fitnah dan dihukum karena ajaran-ajaranku.

Suatu malam, ketika aku sedang berdoa, sepasukan tentara bersenjata lengkap menggiringku. Seorang muridku sempat melepaskan tembakan dengan pistolnya dan mengenai telinga salah seorang tentara itu. Aku jelas marah kepada muridku itu, kemudian mencoba mengobati telinga prajurit yang luka itu sebisaku. Kemudian mereka menutup kepalaku dengan kantong hitam, aku tak tahu hendak di bawa ke mana.

Jesus-in-guantanamo

Terik matahari siang menyengat sekali. Kepalaku masih ditutupi kain hitam. Lalu aku merasa aku digiring ke sebuah ruangan yang pengap oleh asap
rokok.

“Kau menghasut banyak orang! Kau bilang bisa menghancurkan Al-Aqsa dan membangunnya kembali dalam tiga hari? Dasar tukang kibul! Cuihhh!”

Aku disetrum lagi.

“Jadi kamu ini anak Allah?”

Buk! Sebuah bacagi meremukkan tulang rusukku.

“Kau ini anak tukang kayu, ngaku-ngaku anak Allah? Penipu!”

Cressss! Kali ini sebatang rokok mereka sundut ke kulit tanganku.

Entah berapa lama aku berada di kamar gelap ini. Sekujur tubuhku nyaris lumpuh dan remuk. Pergelangan tanganku perih karena tubuhku tergantung berjam-jam selama beberapa hari ini.

Kali ini mereka mendudukkanku di atas sebuah kursi kayu. Bau keringat apak menguar di sekelilingku. Tiba-tiba…. “Aaaaaarrrrrgggghhhhhh!” Jemari kakiku mereka tindih dengan salah satu kaki kursi yang diduduki seorang dari mereka. Jempol kakiku nyaris hancur.

“Masih juga mengaku sebagai anak Allah?”

“Aaaaaarrrrrggggghhhhh!”

=========================

Ini tulisan lama, postingan di milis GPIB. Saya tulis ulang di blog sebagai refleksi menjelang Jumat Agung.

What’s in Your Bag?

Tinggalkan komentar

Entah sejak kapan saya punya kebiasaan membawa “palugada” (apa lu mau gua ada) di dalam tas.  Seingat saya, semasa SMA dulu saya justru hanya bawa buku sekadarnya. Alat tulis? Hmmm, selama masih bisa pinjam, seingat saya juga saya nggak bawa alat tulis. Tapi itu pas zaman SMA.

Mungkin semenjak mulai bekerja, saya sedikit demi sedikit mulai terbiasa membawa segala macam barang di dalam tas saya. Alhasil tas saya, baik yang berbentuk backpack, maupun sling pasti terlihat gendut dan pastinya berat. Bahkan saya sempat dikenal sebagai ATK berjalan, karena segala bentuk alat tulis kantor, semisal stapler, paper clip, lem kertas, binder, cutter,  pasti saya punya dan rela saya pinjamkan. Akibatnya, beberapa kali pula benda-benda itu secara nggak sadar “hilang” dari tempatnya karena lupa saya minta kembali atau tercecer pada saat ada kegiatan gereja maupun kegiatan lain. Anehnya, justru karena kehilangan itu saya justru gembira  lantaran saya jadi bisa beli lagi barang-barang ATK yang baru.

Setelah gadget mulai populer, selain ATK, tas saya dipenuhi perintilan gadget: kabel charger, charger, harddisk, flash disk. Bahkan ketika sudah punya laptop, nambah lagi beban berat tas saya karena kemasukan kabel power beserta adaptornya yang pastinya juga saya bawa.

 

Belakangan, saya menjumpai istilah EDC (Everyday Carry). Istilah ini mengacu pada benda-benda yang sehari-hari selalu berada di kantong, tas, bawaan kita. Lebih jauh lagi, EDC ini juga mau menunjukkan seberapa siap kita saat menjumpai berbagai kemungkinan. Dari trend inilah saya baru tahu kalau senter dan pisau lipat termasuk dalam benda yang wajib dibawa. Padahal sejak dulu yang saya bawa hanyalah pisau lipat a la Victorinox yang dilengkapi berbagai tools lain, atau yang biasa disebut multitools. Itu pun karena keranjingan menonton serial Mac Gyver.

Memang, smartphone zaman now biasanya dilengkapi juga dengan aplikasi flashlight. Namun, dalam situasi tertentu, keberadaan senter kecil cukup membantu manakala pada saat itu smartphone tidak berfungsi. Saya pernah mengalami hal itu. Motor saya bermasalah, suasana gelap karena saat itu memang sudah malam, hape ketinggalan di kantor, maka si kecil senter dan seperangkat multitools sangat membantu mengatasi masalah kecil di motor saya tadi.

Selain senter dan multitools tadi, ada lagi peragkat yang ternyata juga berguna dan merupakan benda-benda yang sebaiknya selalu tersedia di mana pun kita berada yakni IFAK atawa Individual First Aid Kit atawa P3K pribadi. Band-aid, antiseptic, perban, cotton bud maupun alcohol swab adalah  benda-benda yang akhir-akhir ini turut saya sisipkan di pouch kecil saya sebagai kantong P3K. Tentu saja kita tidak menghendaki mengalami kecelakaan. Akan tetapi pada saat terjadi kecelakaan kecil misalkan tersayat cutter, jatuh dari motor dan kecelakaan kecil lainnya, kantong P3K ini sangat membantu. Atau, kadang-kadang bukan kita yang mengalami melainkan teman kita.

Pernah suatu kali, ada salah seorang teman saya mengalami kecelakaan kecil saat sedang menuju ke gereja untuk melakukan pelayanan. Dia terjatuh dari motor karena menghindari seorang anak yang tiba-tiba hendak menyeberang jalan. Kepalanya mengalami luka ringan, juga di beberapa bagian tubuhnya. Untungnya di box motor saya selalu tersimpan kantong P3K, sehingga lukanya bisa dibersihkan dengan antiseptic lalu ditutup dengan handyplast.

Sehingga, kebiasaan membawa barang banyak masih berlangsung sampai sekarang. Malah makin bertambah-tambah saja itemnya. Tadinya hanya berisi ATK dan kabel-kabel smartphone, ditambah lagi dengan P3K, senter,  multitool, Tech Kit (perintilan gadget) dan  Survival Kit (benda-benda untuk saat-saat emergency yang akan saya bahas tersendiri nantinya).

So, what’s in your bag?

Masa Adventus dan Orang Majus

Tinggalkan komentar

Setiap kali memasuki masa adventus saya justru teringat orang Majus. Kendati tradisi dan kalender gereja purba memasang peristiwa ini dalam minggu Epifania, saya justru memikirkannya pada minggu-minggu Adventus ini. Dari negeri jauh mereka mencari seorang raja yang tak mereka kenal sama sekali, yang hanya ada dalam ruang pikiran mereka. Sebuah bintang di langit memberi ikhtiar itu kepada mereka dan mereka sepakat untuk pergi menjumpai raja itu. Para majusi itu hidup ketika peralatan global positioning system belum diciptakan, ketika google maps belum ada. Alkitab tak berkisah banyak soal latar belakang para majusi itu, mungkin juga hal tersebut tak penting benar. Namun, banyak ahli kemudian mulai menelaah, menaksir, mengira-ngira dari mana mereka berasal, siapa saja mereka, bagaimana latar belakang budaya mereka dan sebagainya.

Masa adventus merupakan masa penantian kedatangan Sang Raja. Penantian itu mengandung unsur “nanti”, yang berarti bukan sekarang, bisa dua menit lagi, bisa esok hari, bisa pula dua abad lagi. Dalam penantian, kita seringkali menemukan ketidakpastian. Kata “nanti” bukanlah hitungan yang eksak seperti halnya esok hari atau lusa. Dan para majusi pun menjumpai ketidakpastian tadi. Dalam pencarian yang mereka lakukan, terkandung sebuah penantian. Di pemahaman mereka hanya ada sebuah petunjuk: seorang raja akan lahir. Pada masa itu selalu ada raja yang lahir, sama halnya selalu ada seorang bayi yang bukan raja lahir, tapi kenapa mereka memandang istimewa raja yang diikhtiarkan bintang di langit itu? Mereka memperoleh kepastian bahwa memang ada seorang raja yang sangat istimewa yang harus mereka sembah, tapi mereka pun tak tahu persis di mana dan seperti apa raja yang mereka pikirkan itu. Bagaimana jika mereka tidak menemukan raja itu, bagaimana kalau petunjuk bintang itu keliru, bagaimana jika perjalanan mereka yang bermil-mil itu sia-sia? Di sini muncul paradoks: sebuah kepastian yang justru tidak pasti. Tapi para majusi itu tetap sepakat untuk berangkat. Dikisahkan mereka pada akhirnya berjumpa Sang Raja, di sebuah kandang, di Efrata.

Kembali ke soal penantian tadi. Para majus memang bersepakat untuk mencari, namun di balik pencarian itu mereka pun menyimpan sebuah penantian. Penantian itu beriringan dengan pencarian. Mereka tidak hanya diam. Mereka berangkat, memulai sebuah langkah, menderapkan langkah itu, mungkin bermil-mil jauhnya, mungkin berbulan-bulan lamanya. Ada jarak yang mereka tempuh, ada rentang waktu yang mereka rengkuh, mungkin juga biaya, tenaga dan lain sebagainya.

Di sini saya melihat masa Adventus tak sekadar masa penantian akan datangnya Sang Raja dari kandang Efrata itu, tapi juga masa pencarian. Di dalam pencarian itu saya mulai melangkah, bertanya, merenung, berikhtiar. Menanti sambil mencari. Mencari adalah menanti, dengan atau tanpa emas, kemenyan dan mur.

Caping

1 Komentar

caping

Buku kumpulan Catatan Pinggir (caping) sudah sampai 10 jilid. Secara hitungan tahun, usia caping sudah sekitar 37 tahun sejak pertama kali muncul di Majalah Berita Mingguan Tempo pada tahun 1976. Penulisnya, Genawan Mohamad kini sudah melampaui usia 70 tahun. Sementara, saya sendiri menggemari caping baru sekitar akhir tahun 90-an. Saat itu usia caping mungkin sudah 20-an tahun. Saya mulai membaca Tempo, yang menjadi “rumah” bagi caping, justru ketika Tempo sudah dibredel. Saya membacanya dari tukang majalah bekas. Yang pertama kali saya baca waktu itu, seingat saya, edisi yang membuat majalah berita mingguan ini dibredel, yakni tentang pembelian kapal perang eks-Jerman Timur pada tahun 1994. Sejak itu, saya mengkliping caping, namun entah di mana klipingan itu. Dan setelah bekerja, saya menemukan caping sudah dijilid dalam bentuk buku. Sudah ada empat jilid pada waktu itu, dan saya akhirnya merelakan separuh gaji saya untuk membeli keempat jilidnya di satu-satunya toko buku di Depok yang lumayan lengkap, Toko Buku Graffiti Press, di Lantai Dasar Pasar Swalayan Italiano, Jalan Margonda yang kemudian menjadi Pasar Swalayan Hero, dan sekarang menjadi toko furnitur Informa.

Entah kenapa saya tertarik pada caping, padahal bahasanya sulit sekali dicerna. Topik yang diangkat pun bukanlah topik sederhana, sangat rumit. Tapi saya menikmati setiap kata yang tercetak di buku dan atau halaman akhir majalah Tempo. Sejumlah peristiwa, berbagai tokoh yang dia sebutkan di catatan pinggirnya itu kadangkala tak saya kenal betul. Kendati saya tak paham betul siapa itu Adorno atau Gramsci, saya toh tekun membaca satu judul  sampai selesai. Bahkan ketika saya susah tidur, saya mengambil satu jilid caping secara sembarang dan membacanya, berharap bacaannya yang berat itu bisa membuat saya akhirnya mengantuk. Dan, anehnya, gaya tulisan caping ini seringkali saya tiru dalam setiap tulisan saya, entah di blog, renungan atau sekadar celoteh tentang suatu ihwal di milis-milis. Entah sihir macam apa yang digunakan Goenawan Mohamad yang membuat saya begitu terpikat pada caping sehingga setia mengumpulkan buku kumpulannya yang sudah mencapai sepuluh jilid itu.

Setiap judulnya seringkali sembarangan saja saya baca. Tak selalu berurutan. Justru karena itulah caping jadi asyik dibaca tanpa ada beban untuk menyelesaikan satu buku secara penuh. Bahkan ada yang satu judul saya baca sampai puluhan kali dan ada pula judul yang sama sekali belum saya baca. Sampai jilid kelima, buku kumpulan caping sudah dikelompok-kelompokkan berdasarkan topik, jadi rada lebih mudah menemukan topik yang ingin saya baca. Pada jilidnya yang keenam, pengelompokkan itu sudah tidak ada lagi, susunannya dibuat secara kronologis, sesuai tanggal penerbitannya. Namun itu tidak mengurangi keasyikan membacanya. Dan yang lebih mengasyikan lagi adalah tulisan pengantar setiap jilidnya yang ditulis oleh berbagai kalangan, sebagian besar budayawan. Ada Ignas Kleden, Bambang Sugiharto, Th. Sumartana dan jilid terakhir ini Ayu Utami. Berbagai perspektif mengenai kumpulan caping ini pun semakin membawa saya pada konsep berpikir yang intens, sekaligus diwarnai kegelisahan dan keraguan.

Caping memang telah merasuki cara berpikir saya. Dengan caranya sendiri setiap kata yang menetes dari satu judul caping, telah membentuk kepingan-kepingan di sekujur pikiran saya.

Simulakra Prewedding

1 Komentar

Siapapun yang memprakarsai atau yang pertama kali memulai sebuah aktivitas prewedding (yang isinya berupa karya fotografi calon pengantin sebelum pelaksanaan pernikahan) rasanya perlu dikenang sebagai salah seorang penemu yang cukup berpengaruh dalam dunia fotografi atau acara pernikahan. Betapa tidak. Sebelum tahun sembilan puluhan rasanya kegiatan prewedding tidak booming seperti sekarang. Seingat saya, saat kakak-kakak saya menikah, tidak ada satu pun dari mereka yang repot-repot melakukan kegiatan prewedding ini: mencari spot yang cocok, menyewa fotografer profesional, atau setidaknya mereka yang dianggap piawai mengabadikan gambar, mengatur gaya agar karya fotografi jadi lebih ciamik.

Setiapkali melihat karya fotografi prewedding ini, saya selalu teringat Baudrillard. Baudrillard pernah berteori bahwa di dalam abad teknologi seperti sekarang ini realitas telah berubah dalam bentuk pencitraan, imaji-imaji yang dihasilkan oleh proses simulasi. Dalam hal prewedding tadi simulasi diwujudkan dalam bentuk romantisme yang telah diatur, ditata, agar pencitraan tadi menghasilkan imaji sesuai keinginan kita. Maka itu kalangan berada barangkali akan menyewa fotografer mahal agar proses simulasi tadi menghasilkan karya yang keren. Sementara bagi kalangan pas-pasan biasanya meminta bantuan teman-teman yang hobi fotografi untuk mewujudkan hal itu. Berbagai lokasi cantik dicari, berbagai momen romantis diciptakan, bahkan cara memandang dan bergandengan tangan pun disesuaikan dengan arahan fotografer ataupun penata gaya. Bahkan realitas pun tak cuma disimulasikan, bahkan dimanipulasi hingga melampaui kenyataan sebenarnya.

Maka dari karya fotografi prewedding ini kesadaran kita dibangun, dikonstruksi menjadi sebentuk realitas baru. Nah berbagai kesadaran ini akan mengerucut kepada sebuah pemahaman bahwa prewedding itu sebagai sebuah keniscayaan. Dia menjadi semacam “ideologi” yang pantas dipertahankan dalam kegiatan perhelatan pernikahan. Dia pun menjadi sebuah simulakrum, kesadaran yang lahir karena berbagai pemahaman atau ideologi sebagai wujud simulasi tadi. Momen romantis itu sedemikian pentingnya sehingga perlu diatur dan disimulasikan agar tampil sebagai pencitraan diri pasangan yang hendak menikah. [ ]

Lima Belas Tahun Silam

Tinggalkan komentar

Bukannya saya tidak menyukai Gerindra atau mempercayai Hanura, namun entah kenapa saya belum juga bisa memaafkan Prabowo dan Wiranto yang turut andil atas sejarah kelam di negeri ini lima belas tahun silam.
Bukannya saya tak mendukung pemilu bersih, namun entah kenapa saya belum juga bisa melepaskan kesedihan yang saya rasakan saat memandangi kobaran api dan rakyat yang rakus menjarah toko-toko lima belas tahun silam.
Saya bukannya tak mencintai semangat demokrasi di negeri ini, namun entah kenapa saya belum juga bisa melupakan perlakuan yang dialami Munir dan Widji Tukul yang sebenarnya justru orang-orang yang menjunjung semangat demokrasi kita lima belas tahun silam.

Apakah saya harus melupakan semua itu? Apakah saya harus merelakan peristiwa-peristiwa itu biarlah menjadi sejarah masa lalu yang sebaiknya saya simpan di dalam peti lusuh nun di dalam relung pikiran saya?

“Perjuangan melawan kekuasaan, adalah perjuangan melawan lupa.” – Milan Kundera

“Lebih baik golput daripada tidak sama sekali.” – Fauzan R. Soedira

Bapak-bapak Kami Yang Duduk di Kursi Kekuasaan

Tinggalkan komentar

Bapak-bapak kami yang ada di kekuasaan sana
Dihormatilah kiranya kalian selalu
Datanglah segera kekuasaanmu
Jadilah apa yang kalian anggap waras dan bikin bumi ini damai
Berikanlah kami pada hari ini kebebasan untuk beribadah yang secukupnya
Dan ampunilah kewarasan kami yang mungkin lebih waras dari mereka yang memperlakukan ketidakwarasan kepada kami
Janganlah membawa kami pada kebingungan, tetapi lepaskanlah kami dari segala prasangka
Karena kalianlah yang saat ini punya kuasa, kekuatan dan mungkin bedil, sampai entah kapan.

PS: kami hanya ingin beribadah, bukan untuk mendirikan negara baru. Catat itu.

Panta Rhei dan Jalan di Jakarta

1 Komentar

Di suatu siang yang hambar, saat tumpukan pekerjaan kantor mulai terasa menjemukan, saya terlibat pembicaraan dengan teman sekantor saya bertema goal setting. Perbincangan mengenai penentuan tujuan hidup itu awalnya saat kami membicarakan soal pengajuan kuliah di Universitas Terbuka yang belum disetujui bos saya. Saya pasrah dengan keputusan itu. “Ya, sudahlah. Biarin,” kata saya.
“Jangan gitu, usahakan tanya lagi. Kalo gak kuliah, gimana mau jadi direktur,” sahut teman saya.
“Ah,” saya bilang, “gua gak pernah berhasrat jadi direktur. Bahkan gua gak pernah berhasrat jadi apa-apa.”
“Ih, gimana, sih, jadi orang gak punya tujuan gitu,” hardik teman saya. Lantas saya mulai berargumen bahwa saya nggak mau samaan kayak orang-orang, pingin beda. “Masa semua orang harus punya tujuan hidup?” tanya saya beralasan. “Nggak punya goal setting aja gua bisa kerja di sini,” lanjut saya sombong, maksudnya bisa bekerja di sebuah anak perusahaan rokok besar di negeri ini. Sambil mencibir, teman saya itu tetap tersenyum lebar.

Perbincangan sederhana dan sambil lalu itu mendadak melintas kembali saat saya sedang memandangi kemacetan gerbang tol Cililitan suatu pagi. Saya berpikir mengenai goal setting. Itu ibarat menelusuri jalan-jalan di Jakarta. Sejak awal kita sudah tahu tujuan kita: kantor. Lalu kita mulai memilih naik bus berongkos lebih ringan namun berdesak-desakan, dan sumpek atau memilih naik taksi yang akan berkali lipat mahalnya namun nyaman. Kendati begitu kadang rute yang diambil tetap sama, masuk jalan tol, macet atau memilih jalur bukan tol akan terkena macet pula. Atau kalaupun sudah terjebak di jalan tol, bisa keluar tol dan memilih jalur alternatif. Namun ujung-ujungnya kita tetap mengarah pada tujuan awal: kantor. Nggak mungkin kita memilih tujuan lain, ke Ancol, misalnya. Kecuali kalau memang niat bolos. Namun biasanya kita tetap pada tujuan awal, walaupun berbagai perubahan terjadi sesuai kondisi. Kalau pun suatu ketika tersesat, banyak penunjuk arah yang akan mengarahkan kita ke tujuan kita.

Begitu juga dengan orang yang punya goal setting tadi. Sejak awal dia sudah menetapkan tujuan hidup: jadi direktur, misalnya. Berbagai jalan pun dia tempuh. Mungkin kuliah di manajemen sampai bergelar master, kalau biaya tersedia ibarat punya duit banyak untuk menumpang taksi yang nyaman. Kalau dana belum cukup, bekerja dulu dari posisi paling bawah, meniti karir pelan-pelan ibarat menuju kantor dengan berganti-ganti jenis angkutan: naik kereta, lalu angkot, lalu ojek. Bila sudah cukup biaya, barulah kuliah sambil bekerja. Presiden Direktur di kantor saya mengawali karirnya di sebuah kantor perbankan sebagai operator foto copy yang khusus memperbanyak dokumen-dokumen kantor.

Kendati melewati berbagai jalan, yang kadang macet, kadang harus memutar, kadang saat mengambil sebuah keputusan berharap akan lancar jaya namun nyatanya tetap tersendat, orang seperti ini akan tetap pada tujuannya: menjadi direktur. Ada visi, ada misi. Kalau pun tersesat, mereka tetap berkemauan keras, belajar dari kesalahan dan bangkit untuk terus menggapai tujuan.

Sementara, orang seperti saya, yang entah jumlahnya ada berapa di dunia ini, tentu punya cara tersendiri dalam menjalani hidup ini. Saya secara tiba-tiba juga teringat salah satu ucapan Heraklitos yang terkenal itu: Panta Rhei atawa segala sesuatu mengalir. Terbayang dalam benak saya sebuah sungai. Saya mengikuti saja alirannya, tak pernah menetapkan akan kemana dan berhenti di mana, ujung-ujungnya tentu saja bermuara di laut, bersatu dengan ombak dan luasnya samudera. Di sepanjang aliran barangkali saya akan menemukan kejutan-kejutan kecil, mungkin akan berhenti sejenak tersangkut sampah yang bau, atau bahkan bakal melewati pemandangan yang indah di tengah hutan yang dipenuhi kehijauan, walau itu hutan bambu sahaja.

Mungkin saja filosofi Panta Rhei tak seperti yang saya gambarkan itu. Namun konsep mengikuti sungai mengalir itulah yang sejauh ini terasa saya jalani. Sejak awal saya tak pernah berani bermimpi jadi apapun. Saya biarkan saja hidup saya berproses mengikuti hembusan masa. Di tengah aliran itu tentu saja saya sering menjumpai kejutan-kejutan kecil. Dengan ijazah SMA tak pernah terpikirkan saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang berkembang pesat dan bertahan di situ selama lebih dari dua belas tahun. Bahkan sempat dua tahun menjadi salah satu kepala bagian di situ, memimpin sebuah proyek bernilai miliaran, keliling Indonesia dibayari kantor, sempat mencicipi menginjakkan kaki ke luar negeri, mondar-mandir Singapur beberapa kali dan semuanya, seperti saya bilang, atas biaya kantor. Dan tak pernah pula sejak awal saya berpikir suatu saat bakal bekerja di sebuah perusahaan besar di Industri rokok, yang gedungnya ada jam digitalnya yang sebelumnya hanya saya lewati sahaja dan saya pandangi jam raksasanya itu saat melewati tol cempaka putih, melakukan pekerjaan yang menjadi hobi saya: menulis artikel dan mendesain grafis.

Dalam mengikuti aliran itu saya pun tak pernah terbayang suatu waktu terlibat aktif di pelayanan gereja sampai berskala nasional, dipercaya menjabat sebagai sekretaris dewan pemuda, mengurusi kegiatan pemuda sesepertiga Indonesia, berkeliling Indonesia lagi, dibiayai gereja pula (kadang harus saweran juga dengan anggota yang lain, sih).

Saya tak pernah berusaha keras dalam mencapai sesuatu. Kalau menemui situasi sulit, saya selalu berpikir suatu saat situasi ini akan saya lewati dengan suatu cara yang mungkin tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Bisa esok atau minggu depan, saya tak pernah terlalu memikirkannya. Pasti akan selesai suatu waktu nanti.

Di sampung itu, berbeda dengan orang-orang yang suka menetapkan goal setting, yang suatu saat setelah mencapai tujuannya akan berhenti di situ, menetap di situ, dan atau akan menetapkan goal setting baru: menjadi presiden, misalnya. Akan halnya saya, mungkin akan terus mengikuti aliran sungai, tak pernah berhenti di suatu titik, menemukan kejutan-kejutan baru, yang menyenangkan atau yang menjengkelkan. Terus mengalir, sampai berujung di sebuah muara, bertemu dengan lautan, berpelukan dengan ombak, bersatu dengan samudera luas, bersama semesta. [ ]

Babu, Bibi, Mbak, Pembantu, Maid dan lain sebagainya….

2 Komentar

000K051XDOMAda sejumlah sebutan untuk pembantu di rumah. Ada yang bilang “babu”, kemudian belakangan ada yang manggil “bibi”, padahal bukanlah kakak atau adik kandung papa-mamanya. Terus, akhir-akhir ini bahkan ada yang menyebutnya “mbak”, padahal mungkin usianya jauh lebih muda dari dirinya. Yang lebih beringgris-inggris menyebutnya “maid”. Akan tetapi, kalau kita sedang kesal dengan sang pembantu tadi, kita tak lagi menyebutnya “mbak” atau “bibi”, tapi langsung saja menyebut bahasa okemnya: “pembokat”.  “Duh, ini aer kenapa lupa dimatiin, ya?. Disangkanya beli aer gratis apa? Dasar pembokat!” Demikian salah satu bunyi status update  teman saya di facebook.

Kenapa bisa terjadi perbedaan sebutan itu untuk situasi yang berbeda pula?

Tulisan mengenai penggunaan kata yang berbeda-beda untuk para pembantu rumah tangga ini sempat dibahas oleh Qaris Tajudin di kolom Bahasa Majalah Tempo. Menurut Qaris, penggunaan berbagai macam sebutan untuk pembantu itu dianggapnya ambigu. “Di satu sisi kita tak ingin dianggap merendahkan, tapi di sisi lain kita ingin selalu dianggap berada sekian tingkat di atas pembantu,” tulis Tajudin.

Dulunya, kita memberi sebutan “babu”. Namun karena dianggap merendahkan, kita mengubahnya menjadi “bibi”, tapi tentu saja kita tak bisa serta merta memanggilnya “tante”, walau artinya sama. Ah, sebutan “tante” terlalu keren untuk seorang pembantu. “Bibi” saja sudah cukup. Di beberapa tempat ada yang menyebutnya “mbok”, yang artinya sama dengan “ibu” karena mungkin usia pembantu itu lebih tua dan ada yang sudah berumur. Lalu, kenapa tidak kita panggil saja dengan sebutan “ibu”? Jangan, sebutan “ibu”, kata Tajudin, terlalu priyayi. Ketika belakangan banyak pembantu yang berusia muda, kita memanggilnya dengan sebutan “mbak”, yang bisa juga berarti “kakak”. Lalu, kenapa tidak sekalian saja kita panggil “kakak”. Sekali lagi, sebutan “kakak” masih terlalu tinggi untuk seorang pembantu. Jadi, cukup “mbak” saja. Artinya sama, tapi levelnya masih terasa di bawah kita.

Jadi, siapakah orang yang kita sebut dengan banyak panggilan tadi? Dia yang setara dengan kita, karena dia sama-sama manusia yang perlu bekerja dan perlu penghasilan? Atau dia yang derajatnya, yah, sedikit lebih rendahlah dari kita, karena kita membayarnya untuk jasa “bantuan” di rumah tangga kita?

Banjir Jakarta dan Click Activism

Tinggalkan komentar

5d0ffe1d725fe61a2d240e345de230af

Tak lama setelah bencana banjir melanda Ibukota, beberapa social media semisal Facebook, Twitter maupun Path turut kebanjiran status tentang itu. Ada yang isinya sekadar sebuah simpati, ada yang isinya liputan pandangan mata, foto-foto, informasi mengenai dibentuknya posko bencana dan sejenisnya. Tak jarang pula ada yang isinya salah-menyalahkan. Ada yang menyalahkan Jokowi-Ahok yang tak becus mengurus Jakarta, menyalahkan mereka yang hobi buang sampah sembarangan, dan seterusnya.

Tahun 2004 maupun 2007 Facebook dan Twitter tentu belum seramai sekarang. Tahun 2004 saat Tsunami melanda Aceh serta Banjir Jakarta tahun 2007, sangat jarang kegiatan sebar menyebar informasi melalui social media. Yang ada hanya tatapan yang tak henti pada layar televisi dan lembar koran atau majalah. Fenomena sebar menyebar informasi lewat social media ini belakangan diberi label Click Activism.

Bukan cuma informasi saja yang disebarkan melalui social media tadi. Curhat soal macet, soal Metromini yang melaju seenaknya, keluhan soal bos yang marah-marah melulu, turut pula mewarnai. Apakah ini adalah generasi yang kesepian, yang tak tahu harus curhat kemana lagi selain mengeklik tombol telpon selular maupun telpon pintar, berharap ada yang membaca dan merespons, memberinya komentar, dukungan dan sejenisnya? Bahkan hal-hal yang sangat pribadi yang semestinya bukan konsumsi publik pun tersebar di seantero dunia maya. Dan kita jadi tahu si anu lagi berantem ama si itu soal begituan. Dan kita jadi tahu si anu orangnya seperti itu melalui status update si inu. Bahkan kita jadi tahu bahwa bayi si anu akan minum susu jam berapa dan akan makan bubur merek apa jam berapa di mana. Maka, ruang publik pun jadi tak lagi dibatasi secara geografis. Kita yang di rumah, jadi tahu sebuah pertikaian keluarga nun di luar pulau sana, karena membaca sebuah status update beserta komentar-komentarnya.

Tentu belum lepas ingatan kita mengenai perseteruan Prita Mulyasari dengan sebuah rumah sakit ternama. Melalui Facebook, Prita mendapat dukungan dari berbagai-bagai kalangan karena curhatnya mengenai pelayanan rumah sakit yang mengecewakan itu. Melalui curhatnya di media sosial ini, Prita pun sempat bikin pihak rumah sakit kebakaran jenggot, yang bahkan membawanya ke pengadlan. Gerakan pencet memencet tombol untuk mencari maupun memberi dukungan ini pun sempat terjadi lagi ketika perseteruan Cicak Vs. Buaya beberapa waktu lalu, saat Bibit-Chandra sebagai petinggi KPK harus berhadapan dengan petinggi Polri.

Namun banyak kalangan menyangsikan Click Activism ini mampu melakukan perubahan secara signifikan. Tak ada yang berubah dalam kasus Prita, yang bahkan sudah sampai membawanya ke Mahkamah Agung. Prita sendiri konon ogah menyentuh-nyentuh lagi internet sebagai media curhat, kuatir justru mengganggu proses peradilan dan kasusnya. Tak juga ada perubahan kebijakan di tubuh KPK pasca dukungan yang masif terhadap Bibit-Chandra melalui social media ini. Beberapa menganggap gerakan ini sebagai sebuah “kepedulian alakadarnya”, “gerakan orang-orang latah” dan sejenisnya. Kendati banyak nada miring terhadap para penggila social media ini, ada juga kisah menarik ketika seorang anggota tentara yang tengah memarah-marahi seorang pengendara motor sembari mengacung-acungkan pistolnya, tertangkap kamera video lantas menyebarkannya melalui Twitter dengan tautan dari Youtube,  membuat serdadu tersebut memperoleh sangsi. Tengok pula perubahan yang dialami Briptu Norman yang iseng mengunggah video dirinya ke youtube. Dan masih banyak lagi kisah mengenai aktivitas social media ini yang mengubah nasib sejumlah orang.

Dan bencana banjir terjadi lagi, bahkan konon lebih dahsyat dari enam tahun sebelumnya. Akankah Click Activism yang membanjiri social media belakangan hari ini akan menyumbangkan sebuah perubahan atas bencana banjir di jakarta? Entahlah….

Bikin Pilim

2 Komentar

clapperboardl2_800wTahun 2012 lalu bisa dibilang adalah kesempatan saya bisa mencicipi proses pembuatan film (pendek). Sebelumnya saya memang punya niat bikin film. Buku-buku teknik membuat film pun saya baca. Sejumlah ide cerita sudah saya coba buat. Entah kenapa dulu-dulu itu tak kunjung kesampaian saya membuat pilim (meminjam istilah Mak Gondut dalam Demi Ucok).

Diawali dengan sebuah proyek pembuatan film untuk kebutuhan kantor. Salah satu departemen di kantor saya berniat membuat sebuah tutorial berbentuk video bagaimana merencanakan, melaksanakan sebuah event. Saya yang dianggap mengerti editing film serta beberapa kali mengambil video setiapkali ada ajang di kantor, dilibatkan dalam tim pembuatan video tutorial tersebut. Saat pertama kali diajak bergabung dalam tim itu, saya sudah merasa tertarik, walau sebenarnya bekal pengalaman pengambilan gambar serta proses pembuatan sebuah film hanya saya peroleh dari buku-buku yang saya baca tadi. Apa itu long shot, apa itu close up, eagle view dan sebagainya. Dari situlah pengalaman saya terjun langsung dalam sebuah proses pembuatan film. Di proyek ini saya sebatas bertugas mengambil gambar serta mengeditnya sampai pada hasil akhir. Naskah/script serta konsep isi seluruhnya dari departemen terkait. Kebetulan untuk proses editing saya sudah cukup menguasai akrena beberapa kali mengedit video.

Kesempatan kedua saat Pelayanan Kategorial Persekutuan Teruna (Pelkat PT) di gereja saya ikut serta dalam lomba pembuatan film pendek yang digelar oleh Pelkat PT Mupel GPIB Jabar 2. Lomba ini tergolong baru kali itu diadakan. Biasanya ada lomba debat, lomba vokal grup, lomba karya ilmiah, lomba pidato dalam bahasa inggris dan sejenisnya. Entah ide dari siapa sampai muncul jenis lomba membuat film pendek tersebut. Pengurus Pelkat PT di gereja saya meminta saya sebagai penanggung jawab di lomba pembuatan film pendek tersebut. Sampai dua minggu sebelum penyelenggaraan, kabar mengenai apa dan bagaimana lomba film pendek tersebut belum juga bisa saya dapatkan.  Sampai akhirnya juklak mengenai loma film pendek pun rampung. Isi cerita film yang diambil dari kisah-kisah perumpamaan Yesus di alkitab akan diundi kepada gereja-gereja yang diikutsertakan. Sesuai undian tersebut, gereja saya mendapat undian untuk membuat film mengenai Perumpamaan Tentang Talenta. Saya berpikir keras mengenai bagaimana mengemas film yang akan dilombakan itu. Dengan waktu yang mepet itu, saya pun mengambil jalan pintas. Film ini saya buat dalam bentuk film bisu, meniru film-film Charlie Chaplin. Sebenarnya jalan ini saya ambil menghindari para pemeran menghafal dialog, yang dalam tempo kurang dari dua minggu waktu yang tersisa, agak mustahil ada waktu untuk reading dan menghafal. Terlebih para pemerannya ini berasal dari anak layan yang belum tentu bisa setiap waktu dilibatkan. Sehingga berbekal konsep film bisu tadi, saya pun menyusun cerita dan naskahnya. Karena ini film bisu, maka saya pun mengoptimalkan adegan demi adegan agar bisa berbicara dengan sendirinya. Untungnya, cerita ini sudah sangat familiar di kalangan anak-anak layan maupun kalangan umat Kristen.

Syuting digeber dalam waktu tiga hari. Jumat malam, Sabtu seharian dan hari minggu seharian juga. Jumlah pemain pun tidak terlalu banyak sehingga nggak terlalu susah mengatur pemain. Lokasi syuting pun sempat berubah-ubah, sampai akhirnya diputuskan meminjam rumah salah seorang rekan pelayan sebagai kediaman Nyonya Besar (versi alkitab adalah Sang Tuan), meminjam sebuah warung klontong langganan rekan pelayan sekaligus pemilik warung kami minta sebagai figuran serta sebuah kios buah-buahan yang juga kami pinjam, dengan kompensasi, kami membeli beberapa buah-buahan yang dijual di situ. Maka jadilah sebuah film pendek yang diberi judul Kisah Tiga Pelayan. Durasinya kurang lebih lima belas menit. Hanya berisi adegan-adegan bisu, hitam putih dan speed yang dipercepat, layaknya film Chalie Chaplin. Di lomba tersebut, gereja kami berhasil meraih juara III. Yang mau melihat hasilnya silakan mencarinya di youtube dengan keyword judul film tadi.

Tak lama berselang, untuk kebutuhan Paskah Pelkat PT, lagi-lagi seksi acaranya berniat memasukan cuplikan video dalam format acara Paskah yang disusun. Dan lagi-lagi, saya pula yang diminta membuatkan filmnya. Bentuknya liputan berita tentang penangkapan Yesus, penyangkalan Petrus sampai Yesus bangkit. Karena waktunya pun mepet, untuk menyamarkan kualitas yang mungkin seadanya, saya mengusulkan membuat film dengan format founding footage. Jadi adegan-adegan itu berasal dari potongan-potongan video amatir yang disusun menjadi sebuah rangkaian cerita. Film yang memakai format seperti ini biasanya dipakai sejumlah film horor. Yang kita kenal baru-baru ini adalah Paranormal Activity yang sudah sampai dibuat 4 sekuel. Lalu, pernah pula dulu ada film The Blair Witch Project. Dan pada tahun 2012 itu pula ada sebuah film berjudul Chronicle, yang juga memakai format ini. Maka, syuting yang kami lakukan hanya satu hari itu, dibuat seolah-olah berbentuk video amatir mengenai kisah penyaliban Yesus, dimulai saat Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemani, sampai Yesus bangkit.  Syuting kami lakukan di kuburan dekat rumah saya, serta rumah rekan pelayan yang juga kami pakai saat membuat film Kisah Tiga Pelayan. Untuk film ini, kami bahkan tak sempat membuat naskahnya, semua serba spontan. barulah pada saat editing, saya percantik dengan menampilkan banner judul berita maupun logo stasiun TV. Hasilnya adalah empat potongan berita yang berasal dari kamera video amatir, yang memang masih sangat amatir.

Terakhir, pembuatan film pendek dilaksanakan secara tidak sengaja. Awalnya, untuk kebutuhan natal Pelkat PT, saya diminta membuat drama natal yang mengadaptasi salah satu renungan Pdt. Andar Ismail berjudul Kalau Sekarang Yesus Lahir di Jakarta. Maka saya pun membuat naskahnya serta mengadaptasi renungan tersebut dalam bentuk sebuah drama musikal. Lantas, karena satu dan lain hal, akhirnya drama musikal tersebut tidak jadi ditampilkan di natal Pelkat PT, sehingga saya pun mengusulkan mengganti saja drama musikal tadi ke dalam bentuk film pendek. Ide ini disetujui. Naskah drama musikal tadi pun saya sulap ke dalam naskah film dengan perubahan kecil pada isi ceritanya serta perubahan pada judul. Yang tadinya berjudul “Kalau Sekarang Yesus Lahir di Jakarta”, saya ganti menjadi “Kalau Sekarang Yesus Lahir di Depok”. Untuk kali ini dari segi kualitas dan durasi, film pendek ini lebih baik dari Kisah Tiga Pelayan karena formatnya betul-betul serius seperti pembuatan film profesional. Ada penataan suara, ada penataan cahaya, ada pengurusan wardrobe dan properti maupun set. Para pemain pun lebih banyak dari film sebelumnya, dialog pun ada. Sehingga ketelisut ucapan saat melakukan dialog pun sering terjadi. Karena waktu persiapannya lebih panjang, sekitar satu setengah bulan, jadi kami masih sempat melakukan reading, latihan blocking dan sebagainya. Memang ada beberapa adegan yang pada akhirnya tidak kami ambil karena waktu persiapan yang sudah mendekati hari H, sementara ada kesibukan menjelang natal dan sebagainya. Namun, hasilnya tidak mengecewakan. Sayangnya, saya belum sempat mengunggahnya ke youtube, karena filenya masih tergolong besar, di atas 1 GB. Harus saya perkecil agar bisa cepat mengunggahnya.

Dari keempat proses pembuatan film itu, saya pun akhirnya mengerti betapa ribetnya membuat film itu. Saya yang biasanya hanya tinggal menonton adegan demi adegan tertayang di depan saya, mulai mengetahui bahwa bisa saja satu menit adegan dalam film itu menyita kerja keras dari para kru film. Adegan demi adegan yang mengalir lancar di tayangan di depan saya, ternyata memerlukan sebuah proses yang panjang dan kadang sulit. Akan tetapi, saya malah merasakan keasyikan tersendiri saat menggarap keempat film pendek tadi. Syuting sejak siang sampai larut malam tidak terasa melelahkan karena seluruh kru dan pemain yang terdiri dari rekan-rekan sepelayanan saya sendiri menjalaninya dengan rileks dan penuh semangat. Saya pun sedikit mengerti kenapa Indonesia kini bergairah lagi memunculkan karya-karya film, karena para sineas yang tergolong muda dan produktif itu menjalaninya dengan penuh passion (saya belum bisa menemukan kata yang cocock dalam bahasa Indonesia untuk ini).

Tampaknya saya mulai kecanduan bikin pilim….

Demi Pilim

1 Komentar

DemiUcok-TeaserPosterMajalah Tempo edisi bulan Desember 2012 lalu menetapkan film DEMI UCOK sebagai film terbaik versi Tempo. Saat ulasan tentang film itu saya baca, filmnya belum beredar, karena memang baru tayang di jaringan bioskop Indonesia sejak 3 Januari 2013. Saya sendiri akhirnya sempat menonton film itu kemarin.

Sejak awal film ini memang menjanjikan sebuah kisah komedi situasi. Diawali dengan narasi dari tokoh utama tentang orang-orang di sekeliling kehidupannya, dengan bermacam karakter dan kisah masing-masing. Dituturkan sesekali dengan sajian animasi. Sekilas mengingatkan saya pada film JANJI JONI dan JOMBLO. Secara tema cerita, film ini menarik dan terbilang unik. Entah karena cara bertuturnya yang akrab, atau karena persoalan yang diangkat pun terasa dekat dengan keseharian. Apalagi film ini tergolong film crowd funding pertama di Indonesia. Maksudnya, pendanaan film ini digalang secara patungan. Ada 10 ribu orang yang masing-masing akan mengucurkan dana seratus ribu perak. Sebagai kompensasinya, para pengucur dana ini namanya akan ditampilkan di poster film sebagai Co-producer serta memperoleh gimmick dari sejumlah sponsor. Dana sebesar 1 milyar itu dikumpulkan agar film ini bisa masuk jaringan bioskop Indonesia, sementara itu produksi filmnya sendiri sudah selesai digarap.

Film ini berkisah tentang impian seorang sutradara film versus harapan orang tuanya. Gloria Sinaga, yang biasa disapa Glo, punya obsesi membuat film lagi. Sebelumnya dia pernah membuat film juga, tapi masih tergolong kecil-kecilan. Kali ini dia ingin filmnya menjadi best-seller dan jadi perbincangan di mana-mana, bahkan dia mengkhayalkan filmnya ini memperoleh banyak sekali penghargaan. Sementara itu ibunya, Mak Gondut, punya obsesi lain: menikahkan Glo dengan pria Batak sebelum ajal menjemputnya. Mak Gondut ini divonis umurnya hanya tinggal setahun akibat penyakit yang dideritanya. Dari premis dua obsesi ibu dan anak itu film ini mengalir. Glo tidak sepakat apabila mimpi-mimpinya harus kandas apabila nanti menikah, dan Mak Gondut waswas karena putri semata wayangnya tak menunjukkan tanda-tanda akan menikah. Di sela kedua kutub itu timbul masalah soal pendanaan film bikinin Glo yang ditaksir mencapai satu milyar, yang belum juga ketahuan darimana sumbernya. Mak Gondut sempat menawarkan diri untuk mendanai “pilim” (sebutan Mak Gondut untuk “film”) anaknya itu, dengan syarat Glo mau dinikahkan dengan pria Batak. Yah, kira-kira begitulah sekilas kisah di film ini. Kalau panjang-panjang saya ceritakan, tak serulah nanti.

Hal yang bikin DEMI UCOK tambah  menarik justru berada di luar film. Pertama, seperti yang tadi saya sampaikan, ini merupakan film “patungan” pertama di Indonesia agar film ini bisa masuk ke jaringan bioskop Indonesia. Terbayang, harus punya kocek 1 milyar agar film kita bisa tayang di bioskop. Ckckck…. Kedua, tokoh Mak Gondut dalam film ini tak lain adalah ibu kandung sang sutradara, Sammaria Simanjuntak, yang tak diduga berhasil menyabet piala citra sebagai Aktris Pendukung terbaik FFI 2012. Di ajang bergengsi itu, film DEMI UCOK berhasil meraih delapan nominasi, termasuk nominasi film terbaik. Ketiga, ini film kedua Sammaria yang berada di jalur indie namun berhasil melenggang di ajang sekaliber FFI. Film pertamanya, Cin (T) a, berhasil meraih piala citra untuk kategori Naskah Asli Terbaik FFI 2009.

Tentu saja, saya menyambut gembira Indonesia akhirnya punya sineas yang mengingatkan saya pada Nya’ Abbas Akup yang telah melahirkan film komedi berkualitas seperti Inem Pelayan Sexy, Cintaku di Rumah Susun, Ateng Minta Kawin dan banyak film komedi lainnya, yang tidak melulu berisi dagelan, melainkan memaparkan sebuah kelucuan yang justru memaksa kita berpikir dan merenung.[ ]

Ya Dengan Segenap Hatiku

1 Komentar

Empat kata itu: Ya Dengan Segenap Hatiku. Tentu saja bukan mantera, bukan pula kalimat hafalan layaknya kita menghafal Bhinneka Tunggal Ika. Sebelum tanggal 21 Oktober 2012 lalu, sedikitnya sudah empat kali kalimat itu saya ucapkan. Pertama sewaktu menjadi warga sidi jemaat, kedua dan ketiga saat terpilih sebagai pengurus GP selama dua periode dan keempat saat dipercaya sebagai Dewan Pemuda periode 2005-2010.

Tentu saja formula kalimat itu selalu begitu sejak dulu. Entah karena belum ada yang berani mengubahnya atau memang belum perlu diubah, misalkan dengan menggantinya menjadi “Wow, dengan segenap hatiku” atau “OK, dengan segenap hatiku” atau “Baiklah, dengan sepenuh hatiku”. Mari kita telaah kata per kata dari kalimat itu.

Ya. Hanya dua huruf, memang, tapi ini adalah sebuah kata positif. Menunjukkan kesanggupan, menunjukkan pula kebenaran, atau juga sebuah afirmasi. Kata “ya”, ini juga sering dipakai sebagai sambutan atau respons atas sebuah panggilan. Dia bukan lagi sekadar antonim dari kata “tidak”. Dia juga sebuah kata yang memberi ketegasan akan sesuatu.

Dengan. Kata ini tidak bisa berdiri sendiri. Dia tidak akan berarti apa-apa ketika ditulis tanpa ada kata lainnya. Pasti ada satu atau dua kata yang menyertainya. Karena kata “dengan” adalah sebuah penghubung yang memberi penegasan, penjelasan, yang mengukuhkan sebuah informasi.

Segenap. Bilangan genap, kita tahu adalah bilangan yang habis dibagi dua. Tidak menyisakan apapun. Dia juga berarti penuh, utuh, pas, tidak kurang, tidak pula lebih sampai luber. Ditambah awalan “se” dia menunjukkan bahwa kepenuhan itu adalah sebuah ukuran, menjadikannya bentuk, tidak abstrak, bukan sekadar genap, melainkan ia adalah sebuah bentuk genap, utuh, penuh.

Hatiku. Kalau dunia medis mendefinisikan hati sebagai salah satu organ tubuh yang mengambil sari-sari makanan dalam darah, tapi dalam dunia awam kebanyakan orang mendefinisikan hati sebagai pusat berbagai keputusan, tindakan, emosi, batin manusia. Ketika seseorang melakukan sesuatu tanpa menggunakan hatinya, maka bisa dibilang hilang pula hakikatnya sebagai manusia. Ya, kira-kira sederhananya seperti itulah. Ditambahkan pula “ku”, yang menandakan bahwa hati tersebut statusnya bukan sebatang kara. Dia dimiliki oleh seseorang yaitu “aku”, “diriku”, sebuah sosok yang ada dan mengada, eksis, bukan sebuah imajinasi ataupun ilusi.

Jadi, setelah kita telaah dan belah-belah kalimat itu kata per kata, maka “Ya Dengan Segenap Hatiku” bisa dibilang adalah sebuah formula yang pas, tepat, cocok, ketika di hadapan kita terbentang sebuah pertanyaan besar atas keseluruhan hidup kita maupun panggilan atas tanggung jawab dan tugas yang juga besar dan mungkin berat.

Jadi, apa jawabmu di hadapan Allah dan JemaatNya?

Nobody’s Child

1 Komentar

Satu lagi teman saya pergi. Tak terlalu dekat, memang. Tapi dia terhitung masih saudara jauh saya, karena marga kami sama: Soedira. Tumor otak merenggut nyawanya di usianya yang terbilang muda. Dalam setahun ini saja, rasanya sudah empat orang teman pergi untuk selama-lamanya: Yoni, Jimbo, Lucky dan kini Jordy. Setiap kematian rekan terkasih, tentu meninggalkan duka, juga tanda tanya: ada apa di balik kematian itu. Sebuah tanya yang tak lengkap karena separuh jawabannya kita sudah tahu: tak ada yang bisa lepas dari kematian. Namun, tetap saja tanya itu menapar-nampar.

Sekitar dua tahun silam, mendiang Jordy harus kehilangan isterinya terkasih, meninggalkannya berdua dengan putranya yang masih sangat kecil, usia anaknya ini sekitar 2 tahun. Kini, anaknya yang bernama Leo itu harus pula ditinggal ayahnya. Maka, di usianya yang empat tahun itu Leo sudah menjadi yatim piatu. Kenyataan ini tentu membuat setiap mata akan berkaca-kaca, bukan sekadar lantaran kerabat terkasih ini pergi, namun juga menyadari bocah sekecil itu harus sendirian menjalani kesehariannya. Memang, ada opa-oma, tante dan om yang senantiasa menjaga, juga Tuhan yang tak akan meninggalkannya. Namun, seorang anak, biar bagaimana pun butuh berada dekat dengan ayah-ibunya.

Usia saya menjelang tujuh tahun ketika ayah saya pergi. Di usia itu, hanya sepenggal kisah tentangnya yang bisa saya ingat. Kilasan itu begitu samar, tidak utuh, berbeda dengan ingatan akan ibu saya yang melekat erat sampai sekarang. Saya hanya ingat ayah saya pernah memarahi saya karena tidak mau menghabiskan sup berisi wortel, juga memarahi saya ketika jeruk yang sudah jatuh di lantai rumah sakit hendak pula saya makan, atau saat ayah saya mengantar saya ke sekolah, membelikan saya kue dading. Hanya itu, sangat sedikit. Tak terbayang ingatan apa yang masih tertinggal di kepala Leo tentang mendiang mama dan papanya.

Di awal-awal masa remaja, saya tak terlalu merasa membutuhkan sosok seorang ayah. Namun ketika SMA, tiba-tiba sosok itu begitu saya nantikan. Sosok itu tak tergantikan dengan kehadiran om-om saya maupun kakak-kakak ipar saya, suami dari kakak-kakak perempuan saya. Ini bukan sekadar sebuah kerinduan, ini bukan sekadar sebuah kehilangan. Saya butuh sosok yang perlu saya teladani. Meski kemudian, belakangan akhirnya saya memperoleh sejumlah teladan dari rekan-rekan sepelayanan saya. Foto ayah saya selalu terselip dalam dompet saya kala itu. Dia lagi cengengesan, entah sedang menertawakan apa. Saya gunting dari sebuah foto utuh ketika dia masih bekerja di pabrik pembuatan kaleng bersama teman-temannya. Ketika saya mulai naksir perempuan pun, mendadak saya merasa butuh ada kehadiran sosok itu, walau mungkin saya tidak membicarakan apa-apa kepadanya, mungkin sekadar dia tahu saya sedang naksir cewek saja, rasanya itu sudah cukup. Saya seolah mengharapkan, apa kira-kira komentarnya tentang cewek yang saya taksir ini, apakah dia akan menolak, mendukung atau diam saja.

Akan halnya kenyataan yang dialami si kecil Leo, tentu bukan porsi saya untuk risau secara berlebihan. Tuhan akan menjaganya, sebagaimana Tuhan pun tetap menjaga saya hingga saat ini.Di usianya yang masih kecil itu, tentu sosok seorang ibu yang membantunya menyelesaikan tugas-tugas sekolah, membuatkan sarapan dan bekal di sekolah mungkin bisa digantikan oma maupun tante-tantenya. Ataupun sosok seorang ayah yang akan merengkuhnya sepulang kerja, kendati lelah bagaimanapun,  sang ayah akan tetap tersenyum memandangi anak terkasihnya, yang mungkin bisa juga digantikan oleh om maupun kerabat dekatnya yang lain. Namun, ada kontak mata yang berbeda yang mungkin ia dapat dari oma maupun tante-tantenya tadi, atau siapa saja. Saya tahu persis kontak mata seperti apa yang ibu saya berikan saat dia menawari saya makan, membelikan saya baju baru saat menjelang natal atau lebaran. Kontak mata yang tak sekadar menawarkan, bertanya, tapi juga kontak mata yang sekaligus berkata: “Kamu anakku, milikku, mari sini aku beri kamu makan, aku belikan kau baju yang cocok untukmu dari uang yang aku kumpulkan sedikit demi sedikit…. Hanya untukmu.” Ibu saya tak pernah membantu saya belajar, tapi ketika dia marah besar ketika seluruh buku catatan saya hanya berisi gambar-gambar robot, hasil karya saya, saya tahu dia bukan sekadar gusar, tapi juga menitipkan sebongkah harap di pundak saya agar saya bisa lebih cerdas dari dirinya yang sekolah dasar pun tak tamat.

Belakangan saya sempat mendengarkan sebuah lagu lawas: Nobody’s Child. Lagu ini tentang seorang bocah buta yang telah yatim piatu, yang tak ada seorang pun bersedia mengadopsinya. Merasa sendiri, berharap segera mati dan pergi ke surga karena di surga orang buta tetap bisa melihat. Tentu saja saya maupun si kecil Leo tetap akan memperoleh kasih sayang seorang ibu dan ayah dari orang-orang di sekitar saya. Tapi ada saatnya,  kesendirian itu menghampiri. Bukan karena sendirian lantaran tiada siapa-siapa, melainkan karena sebuah sosok yang semestinya hadir itu tak ada lagi.

Kemudian waktu berlalu, membawa saya dan mungkin si kecil Leo pada sebuah jawaban: kenyataan itu pedih, tapi tetap bisa disembuhkan….

Depok

1 Komentar

Setiapkali ditanya dari mana asal saya, saya bingung menjawabnya. Karena acapkali saya sebut “saya orang Depok”, mereka balik lagi bertanya, “Maksudnya, suku kamu apa?” Waduh, suku saya apa, ya? Orang-orang mengenal suku Batak, Ambon, Sunda, Jawa, Dayak dan sebagainya, namun tidak terlalu familiar dengan suku Depok, karena itu memang bukan nama suku.

Tapi baiklah, asal usul saya yang “orang Depok” ini sedikit saya paparkan. Adalah seorang mantan pegawai VOC bernama Cornelis Chastelein yang membeli bentangan tanah di sekitar kali Ciliwung, yang letaknya agak jauh dari Batavia di sekitar akhir abad ke-17. Untuk mengelola lahan tanah yang luas itu dia mempekerjakan sejumlah orang yang dia bawa dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang dari Flores, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya.  Sebagian besar pekerja-pekerjanya itu kemudian memberi dirinya dibaptis dan menjadi Kristen. Mereka yang dibaptis inilah yang menjadi cikal bakal dua belas marga di Depok Lama, yakni Jonathans, Isakh, Tholense, Samuel, Jacob, Joseph, Loen, Leander, Soedira, Bacas, Laurens dan Zadokh. Marga yang saya sebut terakhir ini sekarang sudah tidak ada lagi. Adapun marga saya sendiri merupakan salah satu dari keduabelas marga tadi: Soedira. Sebelum wafat, Cornelis Chastelein, membuat dua buah surat wasiat. Yang satu untuk sanak keluarganya, satunya lagi dibuat untuk para pekerjanya. Bentangan tanah yang dia miliki, sebagian diwariskan kepada para pekerja yang dua belas marga tadi. Dan hari wafatnya diperingati sebagai hari jadi Depok, yang dulu dikenal sebagai Depokse Dag.

Demikian sekilas kisah asal-usul saya sebagai “orang Depok” yang lazim dipanggil dengan sebutan “Belanda Depok”. Istilah ini tentu saja lahir karena para bekas pekerja Cornelis yang menjadi Kristen ini memiliki gaya hidup orang Belanda, berpakaian khas orang Belanda serta segala sesuatu yang berbau Belanda. Istilah ini tentu saja mengganggu saya, seakan keindonesiaan saya yang “orang Depok” ini masih berada di wilayah abu-abu, masih diragukan. Padahal, asal muasal kami dari bumi Indonesia adanya. Tapi, demikianlah yang terjadi. Sebagaimana juga dahulu istilah “Kristen” berawal dari sebuah cemoohan bagi orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Kristus, ketimbang sebagai sebuah identitas keagamaan.

Pengetahuan saya soal Depok dan identitas ‘orang Depok” awalnya berasal dari sebuah buku kecil tentang sejarah Depok, terbitan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Tentang siapa itu Cornelis Chastelein, bagaimana dia bisa sampai ke bumi Indonesia, bekerja kepada VOC, hengkang dari sana lantas membeli sebentang tanah yang kemudian menjadi Kota Depok. Di dalam buku kecil itu juga memuat informasi bagaimana akhirnya Pemerintah Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan menghapuskan status tanah-tanah partikelir yang ada, termasuk wilayah Depok yang sebelum masa kemerdekaan seolah memiliki pemerintah sendiri yang disebut Gemeente Depok. Bahkan, ketika saya menjadi salah seorang staf redaksi buletin gereja saya, saya pernah menulis cerita panjang tentang Sejarah Depok. Sumbernya tak cuma dari buku kecil tadi. Saya bahkan memperoleh salinan wasiat Cornelis Chastelein dari Pengurus YLCC. Saya juga mewawancarai sejumlah sesepuh Depok Lama yang punya referensi sejarah tentang Depok. Bahkan ada yang masih menyimpan koran tentang Depok Lama,  yang tentu saja masih berbahasa belanda, warisan orang tuanya. Dari koran itu pula saya mengetahui bagaimana bentuk gedung gereja saya zaman dulu, tentang loncengnya yang konon merupakan hasil sumbangan dari perkumpulan ibu-ibu di Jemaat Masehi Depok, yang kemudian menjadi GPIB Immanuel Depok ini. Sayang sekali buletin berisi tulisan saya itu entah berada di mana, pun buku kecil Sejarah Depok terbitan YLCC.

Kemudian, sekitar tahun lalu terbit lagi buku tentang Depok. Judulnya “Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955” karya Wenri Wanhar, mantan wartawan Monitor Depok. Dari buku inilah saya mengenal kisah lain tentang Depok, tentang peristiwa pahit yang dialami nenek moyang saya di masa revolusi dulu. Kisah ini tadinya sekadar cerita dari mulut ke mulut oleh sesepuh Depok lama, oleh orang tua saya, tante-tante dan oom-oom saya. Ketika dulu rumah-rumah mereka digedor oleh sekawanan orang dari antah berantah. Ada seorang opa yang setiap kali berjalan selalu mengantungi tangan kirinya di saku celana, menutupi bahwa tangan itu sebenarnya buntung sebatas pergelangan akibat kekisruhan peristiwa Gedoran Depok itu.

Dari buku itu, yang awalnya agak miris saya baca, saya mulai mengerti kalimat yang pernah diungkapkan Abu Hanifah untuk Mendiang Amir Sjarifoedin “Revolusi memakan anak kandungnya sendiri….” Karena stempel “Belanda Depok” inilah maka orang-orang Depok lama menjadi sasaran amuk pemuda-pemuda dari wilayah sekitar Depok Lama. Orang-orang Depok ini kemudian digiring ke Bogor dan selama empat tahun lamanya berada di sana sebagai “tahanan”. Selain terkait dengan peristiwa Gedoran Depok yang menimpa nenek moyang saya itu, dipaparkan pula dalam buku itu sepak terjang tentara-tentara rakyat demi mengusir panjajah Belanda yang kembali menduduki Depok. Kendati sudah saya ketahui sejak lama, dari buku itulah nama Margonda dan Tole Iskandar muncul dan dikenang sebagai para pahlawan Depok yang berjuang melawan pasukan NICA. Kedua nama itu kini diabadikan sebagai nama jalan besar yang membelah Kota Depok.

Saya pernah berkeinginan menulis novel tentang Depok, tentang kehidupan masa lalunya, tentang pegolakan masa silamnya dan sebagainya. Itu berawal ketika, saat usai beribadah di gedung pertemuan sebagai ganti gedung ibadah yang sedang direnovasi, listrik padam. Suasana gelap gulita. Saya membayangkan beginilah Depok tempo dulu. Ketika suasana tak seterang benderang sekarang, mungkin hanya titik-titik lampu teplok di mana-mana. Tapi kemudian saya bingung mau mulai dari mana, biasalah, writer’s block. (*alasan!)

Depok, yang ada sekarang adalah sebuah daerah urban yang juga bergeliat dengan kesibukannya sendiri. Setiapkali saya melewati Jalan Margonda, saya tak membayangkan keriuhan seperti itu bakal terjadi. Semasa kecil Jalan Margonda hanya dilewati beberapa mobil bis jurusan Pasar Minggu-Depok, beberapa angkot dan mobil-mobil pribadi. Di kiri kanannya, seingat saya masih hutan, sampai kemudian Universitas Indonesia berdiri, maka berubahlah pemandangan sunyi tadi. Hanya di daerah kuburan Depok Lama saya masih bisa merasakan aroma masa lalu, ketika semasa kecil saya sering main ke rumah Om saya yang punya peternakan babi. Melintasi kuburan, menembusi semak belukar dan pepohonan rindang, menyeberangi jalanan berbatu yang belum tersentuh aspal. Masuk lagi rimbunan pohon-pohon yang hanya membiarkan sedikit sinar matahari menembusi rimbun daun-daunnya. Lalu sampailah saya di sana, di tanah berumput hijau yang melandai dan di sudut halaman ada kandang babi serta rumah Om saya, Om Ewat. Sepeninggalan Om Ewat, tanah itu dijual, maka hilanglah salah satu lahan bermain saya.

Serpihan kenangan masa kecil itulah yang mengingatkan saya bahwa saya adalah “orang Depok”.

Menggambar Firman Allah

1 Komentar

Alkitab bergambar sudah sering kita temukan. Biasanya gambar-gambar itu sekadar ilustrasi yang melengkapi kisah atau bahan bacaan alkitab dalam terbitan itu. Dulu saya pernah punya sebuah alkitab bergambar itu, hasil peninggalan oma atau opa saya, masih memakai ejaan djadoel, yang juga dilengkapi gambar-gambar ilustrasi. Sampulnya hard cover yang dibungkus kain linen dan sudah lusuh. Kertas isinya pun sudah menguning. Mendiang ibu saya beberapa kali membacakannya untuk saya. Kendati saat itu saya sudah bisa baca, saya lebih tertarik memandangi gambar-gambar ilustrasinya itu. Bahkan yang masih sangat saya ingat betul hingga sekarang adalah ilustrasi untuk kisah Simson, yakni gambar Simson sedang memanggul pintu gerbang kota dan Simson yang matanya sudah buta, sedang dituntun oleh seorang anak kecil untuk dipertontonkan di hadapan rakyat Filistin. Sayang sekali alkitab bergambar itu sekarang sudah entah berada di mana.

Lalu saat usia SMP, tetangga saya mempunya buku cerita bergambar (cergam) yang berisi kisah-kisah alkitab. Buku cerita ini tipis-tipis, ada beberapa edisi. Ada yang edisi tentang kisah Daud, Musa, Petrus, Paulus dan tentu saja Tuhan Yesus. Dicetak secara hitam putih, garis-garis gambarnya sangat realistis. Detailnya sangat kelihatan. Dari cergam inilah saya mendapatkan gambaran tentang kecantikan Sara, isteri Abraham. Entah sudah berapa kali saya menikmati buku-buku itu sampai tuntas. Buku-buku cerita tipis itu awalnya saya sangka digambar oleh H. A. Oppusungu karena nama itu yang tercetak di sampul depan. Belakangan barulah saya mengerti bahwa H. A. Oppusungu itu sekadar menerjemahkan, karena aslinya buku-buku cergam kisah alkitab tadi adalah terbitan negeri Paman Sam yang diberi tajuk The Picture Bible. Gambar ilustrasinya dikerjakan oleh Andre LeBlanc, seorang illustrator seangkatan Will Eisner yang kondang dengan novel grafisnya A Contract With God. Di kemudian hari, buku-buku tipis tadi kemudian dibundel, ada enam bundel yang masing-masing bundel memiliki warna sampul khasnya. Kisah-kisah di kitab Kejadian kalau tidak salah sampulnya warnanya merah muda. Kisah-kisah kehidupan Tuhan Yesus, saya masih ingat betul, berwarna biru. Keenam bundelnya pernah saya koleksi secara lengkap, bahkan kalau satu bundel hilang, saya pasti membelinya lagi.

Sayangnya, penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih (YKBK) yang menerbitan cergam itu belakangan tidak lagi mencetaknya. Saya sudah berkeliling hampir seluruh toko buku rohani Kristen mencari bundel-bundel yang sempat hilang lagi lantaran saya pindah rumah. Mulai dari BPK Gunung Mulia, Immanuel, kalam Hidup, Metanoia, Momentum, bahkan ketika saya ke Semarang, saya sempatkan mencarinya di salah satu toko buku Kristen yang saya lupa namanya apa. Hasilnya: nihil. Ketika ada pameran buku rohani Kristen, saya mendatangi stan YKBK dan menanyakan perihal lenyapnya cergam-cergam tadi dari peredaran. Dikatakan bahwa YKBK memang tidak lagi mencetaknya karena izin penerbitannya sudah habis dan tidak bisa diperpanjang lagi. Kalau pun ada sisa stok, bundel yang ada itu masih saya punya koleksinya. Saya sudah putus harapan. Alhasil, bundel tentang kitab Kejadian dan bundel tentang kisah pelayanan Yesus tak akan pernah lagi saya miliki. Tesisa empat bundel yang belakangan baru saya ketahui dua dari empat bundel itu entah saya letakkan di mana, karena lagi-lagi saya harus pindah kontrakan. Artinya kini tersisa dua bundel saja.

Ketika saya sedang di Gramedia, saya sempat melihat cerita alkitab diterbitkan dalam bentuk komik jepang yang kita kenal dengan istilah komik manga. Judulnya Manga Mesias, yang berisi kisah-kisah pelayanan Yesus. Garis gambarnya betul-betul mengikuti format komik jepang yang kita kenal. Seolah kita sedang membaca cerita Tuhan Yesus berbentuk karakter Kungfu Boy atau Dragon Ball. Sosok Malaikat Gabriel tampak bagi saya seperti karakter-karakter dalam film kartun Saint Seiya. Maka, saya pun masukan komik tersebut dalam kantong belanjaan saya. Sebenarnya selain kisah tentang Tuhan Yesus, edisi manga ini juga menerbitkan kisah lain dalam alkitab, salah satunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Manga Metamorfosis, yang berisi interpretasi kisah para rasul dengan Rasul Paulus sebagai tokoh sentralnya. Sayangnya, edisi ini belum berhasil saya peroleh.

Perbandingan The Picture Bible dan The Action Bible

Baru-baru ini saya kembali menemukan “genre” lain cerita alkitab yang dikisahkan kembali dalam bentuk cergam/komik. Kali ini judulnya The Action Bible. Sekilas dari garis gambarnya, tampaknya komik ini “bergenre” komik-komik Marvel atau DC Comics yang biasa berisi tentang kisah-kisah superhero semisal Spiderman maupun Superman. Betul saja, ternyata sang ilustrator yang menggambarnya merupakan pekerja komik yang juga telah bekerja sama dengan dua raksasa komik Amerika tadi. Namanya, Sergio Cariello. Saya pun kembali memasukkan seri The Action Bible yang terdiri atas empat jilid ini ke dalam tas belanjaan saya. Belakangan barulah saya menyadari bahwa The Action Bible ini diterbitkan oleh penerbit yang juga menerbitkan The Picture Bible, yakni David C. Cook Publishing. Secara sekilas pun garis-garis gambarnya mirip-mirip dengan edisi The Picture Bible. Hanya saja, lantaran Sergio Cariello memang terbiasa menggambar tokoh-tokoh yang biasa digarap Marvel dan DC Comics maka tampilan gambar-gambarnya memiliki khas tersendiri. Dan harus diakui ilustrasi-ilustrasi gambar dalam The Picture Bible lebih hidup ketimbang edisi The Action Bible ini. Contohnya, kecantikan Sara yang bisa saya rasakan pada The Picture Bible tak saya temukan dalam edisi The Action Bible.

Dari ketiga macam bentuk komik yang berisi kisah-kisah alkitab tadi, kita bisa melihat bagaimana firman Allah pun mengejawantah dalam bentuk yang lebih ringkas: komik, cergam, novel grafis atau apalah istilahnya. Alkitab yang sehari-harinya kita jumpai sebagai buku tebal berisi kalimat-kalimat tentang karya Tuhan bagi umat manusia itu ditafsirkan secara visual mulai dari bentuknya sebagai ilustrasi semata, sampai kemudian berbentuk panel-panel komik.

Seorang sastrawan yang memperoleh gelar Doktor Filsafat melalui disertasinya tentang Komik, Seno Gumira Ajidarma, bicara banyak tentang peran komik bagi kebudayaan manusia. Dengan mengawinkan teori tentang komik yang pernah dipaparkan Will Eisner maupun Scott McCloud serta beberapa pengamat komik lainnya dan kajian kebudayaan dari tokoh-tokoh kajian budaya semisal Faucoult, Gramsci dan lainnya, Seno seolah mengajak kita menjelajah kebudayaan beserta jejak-jejaknya. Seno memakai komik silat karya Hans Jaladara, Panji Tengkorak sebagai bahan penelitiannya. Di tangan Hans Jaladara, Panji Tengkorak pun mengalami “evolusi” sejak edisi pertama tahun 1968, lalu diterbitkan lagi tahun 1985 dan tahun 1996. Dari ketiga bentuk Panji Tengkorak tadi, Seno dalam disertasinya tadi mencoba melihat bagaimana kebudayaan berlangsung dalam periode tahun-tahun penerbitannya tadi. Secara drastis perubahan Panji Tengkorak terjadi pada tahun 1996 ketika Elex Media Komputindo yang biasanya menerbitkan komik-komik manga juga akhirnya menghadirkan sosok Panji Tengkorak yang mendekati garis gambar komik manga.

Tapi kita sudahi saja perbincangan berat soal filsafat komik hasil garapan Seno tadi. Kita kembali pada tiga buku komik alkitab tadi: The Picture Bible, Manga Bible dan The Action Bible. Di sini pun akhirnya kita melihat bagaimana cara bertutur lewat gambar tadi mengalami “evolusi” sesuai dengan pengaruh kebudayaan pada zaman masing-masing komik tadi diterbitkan. The Picture Bible pertama kali diterbitkan pada akhir tahun 70-an, Manga Bible terbit di tahun 2006 sedangkan The Action Bible tahun 2011. Selain, mengambil disertasi Seno sebagai perspektif, ketiga bentuk komik itu pun secara sederhana mau menunjukkan bahwa firman Allah pun bisa kita kunyah dengan renyah. Melalui tuturan gambar-gambar itu, kita diajak menelusuri perjalanan karya Allah sejak penciptaan sampai wahyu ilahi kepada Yohanes di Patmos. Kendati komik-komik tentang kisah alkitab tadi tidak bisa menggantikan posisi maupun kualitas Alkitab sebagai rujukan baku tentang Firman Allah, rasanya sebagai rangkaian kisah, firman Allah tetap bisa kita kunyah dengan renyah.[ ]

I Love You, Lord….

1 Komentar

Di ibadah minggu tadi, sebuah vokal group pengisi ibadah melantunkan kidung I Love You Lord. Entah karena memang aransemennya yang bagus atau apa, saya sempat terbawa alunan lagu ini. Sejenak saya merenung dan berpikir, entah kapan terakhir saya berbisik kepada Tuhan seraya menyatakan, aku mengasihiMu, Tuhan…. Memang, sih, tak harus melalui ucapan dan kata-kata kasih itu kita nyatakan. Namun, kadangkala sebuah untaian kalimat juga mewakili segala yang terbenam dalam jiwa, dalam batin.

Keseharian saya yang dipenuhi kesibukan di kantor, kesibukan dalam pelayanan di gereja maupun kesibukan lainnya seakan membuat serangkum kalimat tadi tak punya tempat lagi dalam alam batin saya. Segalanya menjadi rutin dan mekanis. Setiap saat teduh yang saya jalani pun tiba-tiba menjadi bagian dari rutinitas tadi, menjadi bagian dari jadwal, menjadi bagian dari keseharian yang serba mekanistis. Jangan-jangan saya telah kehilangan cinta saya kepada Tuhan. Jangan-jangan saya malah lebih cinta keseharian saya, kesibukan saya, pelayanan saya, jadwal saya bahkan kepada diri saya sendiri.

Tapi kemudian sebuah kidung mengalun seolah mengajak saya berbisik kembali….

I love you, Lord
And I lift my voice
To worship You
Oh, my soul rejoice!
Take joy my King
In what You hear
Let it be a sweet,
sweet sound in Your ear….

Dan malam ini, saya pun berbisik, ‘ku cinta Kau, Tuhan…..

Older Entries