Aku Bermimpi Jadi Pilatus
29 Maret 2018
film, perspektif, refleksi Tinggalkan komentar
Misalkan Yesus di Guantanamo
27 Maret 2018
perspektif, refleksi Tinggalkan komentar
Nama lengkapku, Yehoshua bin Yosef. Kalian mengenalku dengan
panggilan Yesus. Hanya sedikit perbedaan lafal. Tak apa. Tak soal. Ayahku, Yosef atau Yusuf, memang tukang kayu. Tak terlalu terkenal. Biasa-biasa saja. Kadang aku membantunya. Tapi belakangan aku lebih dikenal sebagai seorang guru, tepatnya guru agama. Aku terkadang mengajarkan akhlak, bukan ilmu falak ataupun ilmu eksak. Tak ada yang salah sebenarnya dengan pekerjaanku. Tapi suatu ketika aku kena fitnah dan dihukum karena ajaran-ajaranku.
Suatu malam, ketika aku sedang berdoa, sepasukan tentara bersenjata lengkap menggiringku. Seorang muridku sempat melepaskan tembakan dengan pistolnya dan mengenai telinga salah seorang tentara itu. Aku jelas marah kepada muridku itu, kemudian mencoba mengobati telinga prajurit yang luka itu sebisaku. Kemudian mereka menutup kepalaku dengan kantong hitam, aku tak tahu hendak di bawa ke mana.
Terik matahari siang menyengat sekali. Kepalaku masih ditutupi kain hitam. Lalu aku merasa aku digiring ke sebuah ruangan yang pengap oleh asap
rokok.
“Kau menghasut banyak orang! Kau bilang bisa menghancurkan Al-Aqsa dan membangunnya kembali dalam tiga hari? Dasar tukang kibul! Cuihhh!”
Aku disetrum lagi.
“Jadi kamu ini anak Allah?”
Buk! Sebuah bacagi meremukkan tulang rusukku.
“Kau ini anak tukang kayu, ngaku-ngaku anak Allah? Penipu!”
Cressss! Kali ini sebatang rokok mereka sundut ke kulit tanganku.
Entah berapa lama aku berada di kamar gelap ini. Sekujur tubuhku nyaris lumpuh dan remuk. Pergelangan tanganku perih karena tubuhku tergantung berjam-jam selama beberapa hari ini.
Kali ini mereka mendudukkanku di atas sebuah kursi kayu. Bau keringat apak menguar di sekelilingku. Tiba-tiba…. “Aaaaaarrrrrgggghhhhhh!” Jemari kakiku mereka tindih dengan salah satu kaki kursi yang diduduki seorang dari mereka. Jempol kakiku nyaris hancur.
“Masih juga mengaku sebagai anak Allah?”
“Aaaaaarrrrrggggghhhhh!”
=========================
Ini tulisan lama, postingan di milis GPIB. Saya tulis ulang di blog sebagai refleksi menjelang Jumat Agung.
What’s in Your Bag?
26 Maret 2018
kisah, perspektif, santai Tinggalkan komentar
Entah sejak kapan saya punya kebiasaan membawa “palugada” (apa lu mau gua ada) di dalam tas. Seingat saya, semasa SMA dulu saya justru hanya bawa buku sekadarnya. Alat tulis? Hmmm, selama masih bisa pinjam, seingat saya juga saya nggak bawa alat tulis. Tapi itu pas zaman SMA.
Mungkin semenjak mulai bekerja, saya sedikit demi sedikit mulai terbiasa membawa segala macam barang di dalam tas saya. Alhasil tas saya, baik yang berbentuk backpack, maupun sling pasti terlihat gendut dan pastinya berat. Bahkan saya sempat dikenal sebagai ATK berjalan, karena segala bentuk alat tulis kantor, semisal stapler, paper clip, lem kertas, binder, cutter, pasti saya punya dan rela saya pinjamkan. Akibatnya, beberapa kali pula benda-benda itu secara nggak sadar “hilang” dari tempatnya karena lupa saya minta kembali atau tercecer pada saat ada kegiatan gereja maupun kegiatan lain. Anehnya, justru karena kehilangan itu saya justru gembira lantaran saya jadi bisa beli lagi barang-barang ATK yang baru.
Setelah gadget mulai populer, selain ATK, tas saya dipenuhi perintilan gadget: kabel charger, charger, harddisk, flash disk. Bahkan ketika sudah punya laptop, nambah lagi beban berat tas saya karena kemasukan kabel power beserta adaptornya yang pastinya juga saya bawa.
Belakangan, saya menjumpai istilah EDC (Everyday Carry). Istilah ini mengacu pada benda-benda yang sehari-hari selalu berada di kantong, tas, bawaan kita. Lebih jauh lagi, EDC ini juga mau menunjukkan seberapa siap kita saat menjumpai berbagai kemungkinan. Dari trend inilah saya baru tahu kalau senter dan pisau lipat termasuk dalam benda yang wajib dibawa. Padahal sejak dulu yang saya bawa hanyalah pisau lipat a la Victorinox yang dilengkapi berbagai tools lain, atau yang biasa disebut multitools. Itu pun karena keranjingan menonton serial Mac Gyver.
Memang, smartphone zaman now biasanya dilengkapi juga dengan aplikasi flashlight. Namun, dalam situasi tertentu, keberadaan senter kecil cukup membantu manakala pada saat itu smartphone tidak berfungsi. Saya pernah mengalami hal itu. Motor saya bermasalah, suasana gelap karena saat itu memang sudah malam, hape ketinggalan di kantor, maka si kecil senter dan seperangkat multitools sangat membantu mengatasi masalah kecil di motor saya tadi.
Selain senter dan multitools tadi, ada lagi peragkat yang ternyata juga berguna dan merupakan benda-benda yang sebaiknya selalu tersedia di mana pun kita berada yakni IFAK atawa Individual First Aid Kit atawa P3K pribadi. Band-aid, antiseptic, perban, cotton bud maupun alcohol swab adalah benda-benda yang akhir-akhir ini turut saya sisipkan di pouch kecil saya sebagai kantong P3K. Tentu saja kita tidak menghendaki mengalami kecelakaan. Akan tetapi pada saat terjadi kecelakaan kecil misalkan tersayat cutter, jatuh dari motor dan kecelakaan kecil lainnya, kantong P3K ini sangat membantu. Atau, kadang-kadang bukan kita yang mengalami melainkan teman kita.
Pernah suatu kali, ada salah seorang teman saya mengalami kecelakaan kecil saat sedang menuju ke gereja untuk melakukan pelayanan. Dia terjatuh dari motor karena menghindari seorang anak yang tiba-tiba hendak menyeberang jalan. Kepalanya mengalami luka ringan, juga di beberapa bagian tubuhnya. Untungnya di box motor saya selalu tersimpan kantong P3K, sehingga lukanya bisa dibersihkan dengan antiseptic lalu ditutup dengan handyplast.
Sehingga, kebiasaan membawa barang banyak masih berlangsung sampai sekarang. Malah makin bertambah-tambah saja itemnya. Tadinya hanya berisi ATK dan kabel-kabel smartphone, ditambah lagi dengan P3K, senter, multitool, Tech Kit (perintilan gadget) dan Survival Kit (benda-benda untuk saat-saat emergency yang akan saya bahas tersendiri nantinya).
So, what’s in your bag?