Beranda

Aku Bermimpi Jadi Pilatus

Tinggalkan komentar

Pagi-pagi sekali, saya sudah mendapat pekerjaan yang sebenarnya bukan urusan saya. Segerombolan pemimpin Yahudi mendatangi saya dan meminta saya menghukum mati seseorang. Saya mengernyitkan dahi sejenak. Pekerjaan menghukum mati itu sebenarnya bukan hal yang patut membuat kening saya berkerut-kerut. Tapi, segerombolan Pemimpin Yahudi, mendatangi saya pagi-pagi, meminta saya menghukum mati seseorang. Pemimpin Yahudi menghukum mati? Ah, yang benar saja.
             Sambil terheran-heran, saya sempat menanggapi dengan dingin. “Kenapa tidak kalian saja yang menghukum mati dia, sesuai hukum yang kalian punya?” Jawab mereka, hukum mereka melarang menghukum mati seseorang.
            Dengan sedikit penasaran saya minta “seseorang” itu dibawa masuk. Tak lama, masuklah seorang pria berwajah kuyu (mungkin kurang tidur). Beberapa pertanyaan saya ajukan kepada orang ini. Tapi anehnya, setiap jawaban yang keluar dari mulutnya kadang membuat saya terkesiap. Dan sambil geleng-geleng kepala, saya berkata kepada pemimpin Yahudi, “saya tidak menemukan kesalahan apapun pada dirinya!”
170316155803-finding-jesus-david-gregory-pontius-pilate-stone-00002302
          Namun, para pemimpin Yahudi itu mendesak saya. Bahkan sempat menyinggung-nyinggung posisi saya dengan mengatakan, kalau saya tidak menghukum mati orang itu, saya dianggap telah berkhianat terhadap kaisar karena membiarkan seseorang menjadi “raja”. Wah, gawat ini. Kalau para petinggi Romawi sampai mendengar berita sepihak ditambah bumbu-bumbu penyedap, akan terjadi kesalahtafsiran, nih. Bisa-bisa saya benar-benar dianggap memberontak. Walau kenyataannya tidak seperti itu. Saya ini sangat loyal pada kaisar. Tapi kalau lawan-lawan politik saya memutarbalikkan fakta sedemikian rupa, bukan tidak mungkin posisi saya akan terancam. Wah, gawat ini!
          Ya, sudah, supaya mereka puas, saya panggil prajurit-prajurit saya untuk menyiksa orang itu. Masak, sih, setelah melihat orang tesebut berdarah-darah, mereka belum puas juga! Saya pun kembali ke dalam ruangan kerja saya, sementara para prajurit melaksanakan tugasnya. Ah, masih banyak paper works yang mesti saya selesaikan hari ini. Biar saja para pemimpin Yahudi itu saja yang menyaksikan penyiksaan itu.
          Sambil duduk di meja kerja saya, saya mendengar bunyi lecutan cemeti berkali-kali diselingi teriakan menyayat dari orang itu. Tapi, masa bodo amat. Toh, setelah melihat penyiksaan itu, mungkin pemimpin yahudi akan membatalkan tuntutan hukuman mati mereka. Sudahlah! Masih banyak yang perlu saya kerjakan!
          Setelah bunyi-bunyi cemeti itu tak terdengar lagi, hanya rintihan kecil serta dengusan napas yang terputus-putus yang sekali-sekali terdengar, saya pun keluar lagi. Di luar ruangan kerja saya, saya mendapati orang itu terkapar dengan tubuh berbasuh darah dan sobekan-sobekan daging bertebaran di sekujur tubuhnya. Sekilas masih terlihat tetesan-tetesan darah dari ujung cemeti yang digunakan prajurit saya. Dan… hei… ide siapa itu? Ada mahkota terbuat dari duri menancap di kepala orang itu. Ck… ck… ck… kreatif sekali prajurit saya itu…. Mungkin mereka sempat mengejeknya tadi.
          Saya pun kembali berdiri dan berbicara di depan para pemimpin yahudi dan sekumpulan orang, mungkin yahudi juga, yang menyemut di halaman kantor walikota. “Lihatlah manusia itu!” kata saya. “Saya tidak menemukan kesalahan apapun pada orang ini!”
          Di kerumunan itu malah terdengar teriakan, “Salibkan dia! Salibkan Dia!”
          Hah, salib? Waduh, nggak sembarangan hukuman itu harus ditimpakan. Hanya bandit-bandit kotor dan para pemberontak bandel yang patut mendapat hukuman itu! Apakah mereka tak tau itu? Dan, ah, masak sih orang seperti itu harus mati dengan cara seperti itu? Tapi demi mendengar teriakan para hadirin, saya pun berpikir keras! “Saya tidak mungkin menyalibkan ‘raja’mu!” Jawab saya dengan menekankan kata raja! Tapi jawab mereka, “Tidak ada raja lain bagi kami selain kaisar!”
          Waduh, terserahlah. Sambil meminta pelayan saya mengambil sebaskom air, sayapun mencuci tangan di hadapan para hadirin. “Saya tidak bertanggung jawab atas darah orang ini! Kalianlah yang menanggungnya!” Jawab saya dengan nada kesal sambil membasuh tangan saya di dalam baskom itu. Kemudian kembali ke ruangan kerja saya demi membuat sebuah surat keputusan berstempel kerajaan yang isinya menyatakan penghukuman mati atas orang itu. Tentunya dengan beberapa catatan khusus. Setelah itu, saya lemparkan surat itu di hadapan para pemimpin Yahudi itu.
          Terlintas senyum puas di bibir para pemimpin Yahudi itu, sekilas, ketika saya hendak membalikkan tubuh menuju ruangan kerja saya untuk meneruskan pekerjaan lainnya.
          Cukup lama saya terdiam di hadapan tumpukan pekerjaan di meja saya. Lalu waktu terus berjalan…. Melewati waktu makan siang, sisa risau itu tetap melekat dalam dada saya. Ah, makanan pun terasa getir, tak ada selera. Mendekati pukul tiga, mendadak saya rasakan guncangan pada tubuh saya. Wah, gempa bumi-kah ini? Langit gelap, dan guncangan itu semakin keras saya rasakan!
          “Woi, bangun, Mon! Udah jam berapa ini? Kerja gak luh! Bangun atau gua siram nih!”
          Wah, ternyata saya mimpi jadi Pilatus! Gempa itu rupanya ulah kakak saya yang mengguncang-guncangkan tubuh saya. Ah, gara-gara nonton The Passion of the Christ, sih! Untung saya gak bermimpi jadi Yudas!
=============
Saya tulis ulang di blog ini sebagai refleksi menjelang Jumat Agung. Ini tulisan sekitar tahun 2004 ketika film Passion of The Christ belum lama rilis. Saya sendiri menontonnya pertama kali dari DVD bajakan.

Misalkan Yesus di Guantanamo

Tinggalkan komentar

Nama lengkapku, Yehoshua bin Yosef. Kalian mengenalku dengan
panggilan Yesus. Hanya sedikit perbedaan lafal. Tak apa. Tak soal. Ayahku, Yosef atau Yusuf, memang tukang kayu. Tak terlalu terkenal. Biasa-biasa saja. Kadang aku membantunya. Tapi belakangan aku lebih dikenal sebagai seorang guru, tepatnya guru agama. Aku terkadang mengajarkan akhlak, bukan ilmu falak ataupun ilmu eksak. Tak ada yang salah sebenarnya dengan pekerjaanku. Tapi suatu ketika aku kena fitnah dan dihukum karena ajaran-ajaranku.

Suatu malam, ketika aku sedang berdoa, sepasukan tentara bersenjata lengkap menggiringku. Seorang muridku sempat melepaskan tembakan dengan pistolnya dan mengenai telinga salah seorang tentara itu. Aku jelas marah kepada muridku itu, kemudian mencoba mengobati telinga prajurit yang luka itu sebisaku. Kemudian mereka menutup kepalaku dengan kantong hitam, aku tak tahu hendak di bawa ke mana.

Jesus-in-guantanamo

Terik matahari siang menyengat sekali. Kepalaku masih ditutupi kain hitam. Lalu aku merasa aku digiring ke sebuah ruangan yang pengap oleh asap
rokok.

“Kau menghasut banyak orang! Kau bilang bisa menghancurkan Al-Aqsa dan membangunnya kembali dalam tiga hari? Dasar tukang kibul! Cuihhh!”

Aku disetrum lagi.

“Jadi kamu ini anak Allah?”

Buk! Sebuah bacagi meremukkan tulang rusukku.

“Kau ini anak tukang kayu, ngaku-ngaku anak Allah? Penipu!”

Cressss! Kali ini sebatang rokok mereka sundut ke kulit tanganku.

Entah berapa lama aku berada di kamar gelap ini. Sekujur tubuhku nyaris lumpuh dan remuk. Pergelangan tanganku perih karena tubuhku tergantung berjam-jam selama beberapa hari ini.

Kali ini mereka mendudukkanku di atas sebuah kursi kayu. Bau keringat apak menguar di sekelilingku. Tiba-tiba…. “Aaaaaarrrrrgggghhhhhh!” Jemari kakiku mereka tindih dengan salah satu kaki kursi yang diduduki seorang dari mereka. Jempol kakiku nyaris hancur.

“Masih juga mengaku sebagai anak Allah?”

“Aaaaaarrrrrggggghhhhh!”

=========================

Ini tulisan lama, postingan di milis GPIB. Saya tulis ulang di blog sebagai refleksi menjelang Jumat Agung.

What’s in Your Bag?

Tinggalkan komentar

Entah sejak kapan saya punya kebiasaan membawa “palugada” (apa lu mau gua ada) di dalam tas.  Seingat saya, semasa SMA dulu saya justru hanya bawa buku sekadarnya. Alat tulis? Hmmm, selama masih bisa pinjam, seingat saya juga saya nggak bawa alat tulis. Tapi itu pas zaman SMA.

Mungkin semenjak mulai bekerja, saya sedikit demi sedikit mulai terbiasa membawa segala macam barang di dalam tas saya. Alhasil tas saya, baik yang berbentuk backpack, maupun sling pasti terlihat gendut dan pastinya berat. Bahkan saya sempat dikenal sebagai ATK berjalan, karena segala bentuk alat tulis kantor, semisal stapler, paper clip, lem kertas, binder, cutter,  pasti saya punya dan rela saya pinjamkan. Akibatnya, beberapa kali pula benda-benda itu secara nggak sadar “hilang” dari tempatnya karena lupa saya minta kembali atau tercecer pada saat ada kegiatan gereja maupun kegiatan lain. Anehnya, justru karena kehilangan itu saya justru gembira  lantaran saya jadi bisa beli lagi barang-barang ATK yang baru.

Setelah gadget mulai populer, selain ATK, tas saya dipenuhi perintilan gadget: kabel charger, charger, harddisk, flash disk. Bahkan ketika sudah punya laptop, nambah lagi beban berat tas saya karena kemasukan kabel power beserta adaptornya yang pastinya juga saya bawa.

 

Belakangan, saya menjumpai istilah EDC (Everyday Carry). Istilah ini mengacu pada benda-benda yang sehari-hari selalu berada di kantong, tas, bawaan kita. Lebih jauh lagi, EDC ini juga mau menunjukkan seberapa siap kita saat menjumpai berbagai kemungkinan. Dari trend inilah saya baru tahu kalau senter dan pisau lipat termasuk dalam benda yang wajib dibawa. Padahal sejak dulu yang saya bawa hanyalah pisau lipat a la Victorinox yang dilengkapi berbagai tools lain, atau yang biasa disebut multitools. Itu pun karena keranjingan menonton serial Mac Gyver.

Memang, smartphone zaman now biasanya dilengkapi juga dengan aplikasi flashlight. Namun, dalam situasi tertentu, keberadaan senter kecil cukup membantu manakala pada saat itu smartphone tidak berfungsi. Saya pernah mengalami hal itu. Motor saya bermasalah, suasana gelap karena saat itu memang sudah malam, hape ketinggalan di kantor, maka si kecil senter dan seperangkat multitools sangat membantu mengatasi masalah kecil di motor saya tadi.

Selain senter dan multitools tadi, ada lagi peragkat yang ternyata juga berguna dan merupakan benda-benda yang sebaiknya selalu tersedia di mana pun kita berada yakni IFAK atawa Individual First Aid Kit atawa P3K pribadi. Band-aid, antiseptic, perban, cotton bud maupun alcohol swab adalah  benda-benda yang akhir-akhir ini turut saya sisipkan di pouch kecil saya sebagai kantong P3K. Tentu saja kita tidak menghendaki mengalami kecelakaan. Akan tetapi pada saat terjadi kecelakaan kecil misalkan tersayat cutter, jatuh dari motor dan kecelakaan kecil lainnya, kantong P3K ini sangat membantu. Atau, kadang-kadang bukan kita yang mengalami melainkan teman kita.

Pernah suatu kali, ada salah seorang teman saya mengalami kecelakaan kecil saat sedang menuju ke gereja untuk melakukan pelayanan. Dia terjatuh dari motor karena menghindari seorang anak yang tiba-tiba hendak menyeberang jalan. Kepalanya mengalami luka ringan, juga di beberapa bagian tubuhnya. Untungnya di box motor saya selalu tersimpan kantong P3K, sehingga lukanya bisa dibersihkan dengan antiseptic lalu ditutup dengan handyplast.

Sehingga, kebiasaan membawa barang banyak masih berlangsung sampai sekarang. Malah makin bertambah-tambah saja itemnya. Tadinya hanya berisi ATK dan kabel-kabel smartphone, ditambah lagi dengan P3K, senter,  multitool, Tech Kit (perintilan gadget) dan  Survival Kit (benda-benda untuk saat-saat emergency yang akan saya bahas tersendiri nantinya).

So, what’s in your bag?