Di salah satu ruangan kantor Majelis Sinode, 16 tahun lalu, kami bertiga saja. Saya, teman gereja saya dan Bung Jan. Kala itu kantor Majelis Sinode belum sekinclong sekarang. Masih sebuah gedung uzur yang tampak renta dengan warna tembok yang agak kumal serta tumpukan berkas-berkas di sejumlah sudut, agak berserakan. Seingat saya ruangan rapat itu menjadi kantor GPI sekarang. Ada meja bundar, dan kami berbincang di situ. Tepatnya, saya dan teman saya mewawancarai Bung Jan untuk keperluan penerbitan buletin gereja kami. Saya staf redaksi, teman saya ini pemimpin redaksinya.

Saat itu kami akan menerbitkan edisi HUT GP. Saya tak ingat secara persis isi wawancara itu. Yang saya ingat betul, Bung Jan mencetuskan ide untuk membuat sebuah koperasi yang dikelola anak-anak muda. Samar-samar saya mencoba menggali ingatan, ia juga menambahkan salah satu bentuknya bisa berupa usaha pemasok alat tulis kantor untuk perusahaan-perusahaan.

Kala itu, seingat saya, Bung Jan mengenakan kemeja putih, dipadu celana warna gelap yang dilengkapi ikat pinggang tempat menggantungkan dua buah pager. Ya, dulu itu alat komunikasi yang tergolong mutakhir adalah pager. Saat berhubungan dengan beliau pun saya dan teman saya ini mengontak Bung Jan melalui alat itu, karena tak mudah mendapatkan janji bertemu dengannya. Dalam wawancara itu kami juga iseng menyinggung perihal kasus ruilslag GPIB Efatha yang saat itu menjadi berita terpanas GPIB. Kontan perbincangan yang awalnya santai langsung serius dan Bung Jan meminta agar hal itu off the record saja. Maklum, ketika itu dia masih berjemaat di Effatha, Jakarta. Kami menyetujui dan memang bagian itu tidak kami kutip dalam terbitan buletin gereja kami karena tergolong sensitif untuk dipublikasikan.

Itu pertama kali saya menginjakkan kaki di kantor majelis sinode bahkan ngobrol dengan Ketua Dewan Pemudanya secara langsung. Kala itu memang menjelang akhir masa jabatan Bung Jan. Ada kebanggaan dalam hati saya.

Setelah itu lama sekali saya tidak bertemu Bung Jan. Pernah sekali bertemu saat rakor dewan2 dengan Ketua 3 PHMJ sejabodetabek, beberapa waktu silam. Kami sempat saling sapa namun tampaknya Bung Jan tak ingat kalau kami pernah bertemu di gedung yang sama, walau kali ini gedungnya telah dipugar lebih kinclong. Saat HUT GP ke 60 tahun kemarin, saya berkali- kali mencoba menghubungi Bung Jan untuk mengundangnya hadir di Tennis Indoor, tapi beberapa kali gagal. Dia tengah sibuk dalam kegiatan di jemaatnya.

Demikian sepenggal ingatan bersama Bung Jan yang masih dapat saya unduh dari memori saya lalu saya unggah ke catatan ini. Hanya beberapa paragraf. Tak terbayang berapa panjang cerita yang bisa dituliskan oleh rekan-rekan terdekat beliau. Mungkin justru tak terkatakan, saking banyaknya….

Turut berduka untuk kepergian salah seorang putera terbaik GPIB.