Begitu melihat papan reklame yang memasang iklan film ini, tadinya saya tak terlalu menggubris, namun ketika sedang mengisi bensin dan memandangi iklan ini berlama-lama, saya melirik nama sutradaranya: Hanung Bramantyo. Langsung terlintas di pikiran saya, “Mau bikin apa lagi ini si Hanung….” Dua film Hanung yang bertema keagamaan sudah saya tonton, Ayat-Ayat Cinta dan satu lagi Sang Pencerah. Kendati tidak penasaran-penasaran amat sama film ini, pada akhirnya saya tetap menonton film “?” dan menyimak pesan di dalamnya.

Saya setuju kalau film ini cenderung “lebay”, terlalu berlebihan, sebagaimana pernah dituturkan sebuah kelompok muslim yang mengecam kehadiran film ini. Namun sebagai karya fiksi, lebay itu sah-sah saja. Sebut saja salah satu film horor yang diberi judul “Kuntilanak Kesurupan” dengan tagline “Bukan cuma manusia yang bisa kesurupan”. Karena dalam setiap penceritaan sudah pasti ada tujuan cerita yang hendak disampaikan kepada penonton atau penikmat cerita itu. . Bisa saja pencapaian tujuan itu tertutur secara wajar atau malah berlebihan. Kenapa saya bilang lebay, karena Hanung seolah hendak memasukkan terlalu banyak isu ke dalam satu rangkaian cerita. Terlalu banyak sub-plot sehingga membuat kisah ini tidak fokus. Kendati ada embel-embel bahwa film ini terisnpirasi dari kisah nyata, tetap saja sebagai sebuah karya fiksi, Hanung agak keteteran membangun cerita yang utuh dalam sebuah film, yang bisa dibilang medium fiksi yang sangat terbatas.

Seperti saya bilang, film ini bisa dibilang lebay karena alasan teknis, bukan tema.  Terlalu banyak subplot dan isu yang hendak dimasukkan dalam sebuah bangunan cerita. Isu pindah agama, isu perusakan oleh sekelompok pemuda muslim, pengeboman gereja, penusukan pendeta/pastur, perseteruan etnis cina dan muslim, pemahaman agama yang konservatif. Bentuk toleransi yang ditampilkan pun menurut saya agak dipaksakan. Pemeran Yesus dalam drama penyaliban dan drama natal oleh seorang muslim, pemisahan alat masak untuk memasak babi dan bukan babi, kisah heroik seorang banser dan lain lagi yang sebaiknya tak terlalu banyak saya ceritakan di sini. Karakter Glenn Fredly pun di film ini tidak terlalu jelas. Entah karena memang tuntutan ide cerita dari Hanung atau memang karena skenario yang dibuat oleh Titin Wattimena (yang sempat membuat saya terkagum-kagum saat menulis skenario Mengejar Matahari) yang membuat kesan saya atas film ini seperti itu.Atau karena memang gaya bercerita dalam film ini yang masih sangat konvensional: struktur 3 babak. Kalau saja Hanung mulai berani keluar dari kebiasaannya, dengan membuat plot elips, misalnya, kemungkinan, film ini akan punya makna yang berbeda. Setidaknya bagi saya sebagai salah seorang penonton.

Saya mencoba membandingkan dengan film bertema sama namun digarap secara berbeda: Cin(T)a. Film ini juga bertema perbedaan agama. Cuma penggarapannya sangat unik dan diproduksi secara indie. Ceritanya pun sangat fokus, hanya berkisar percintaan beda agama, kendati ada juga latar belakang pengeboman gereja di film ini. Namun hanya sebatas penayangan berita di TV. Sehingga alurnya pun ringan dan tidak terkesan berlebihan. Dialog-dialognya cerdas dan filosofis, merangsang orang untuk berpikir secara mendalam. “Mengapa Tuhan menciptakan kita berbeda-beda … jika Dia hanya ingin disembah dengan satu cara?” Itu salah satu kutipan dari film ini. “Mereka kan minoritas kenapa mesti banyak ngebangun gereja?” Ini juga salah satu kutipan yang mengusik saya.

Satu lagi film berlatar belakang toleransi agama yang sampai saat ini masih tersimpan baik di memori saya: Long Road To Heaven. Sebuah film tentang pengeboman di Legian dan Kuta, Bali. Digarap dengan apik oleh Nia Dinata. Menyajikan pemahaman yang cerdas tentang apa itu bertoleransi. Namun, tetap saja, Nia Dinata pun tergoda untuk bertingkah lebay saat menyajikan sub plot “persaingan di antara Imam Samudera dan Amrosy” di film ini yang seharusnya tidak perlu dilakukan

Setidaknya, film “?” ini cukup menjadi oase di antara belantara film-film bermutu rendah yang diproduksi produser-produser berkantung tebal itu. Film ini memang sarat pesan. Terlalu sarat, malah. Jadi, masihkah kita mempersoalkan perbedaan?